Oleh: Ardinal Bandaro Putiah
Pendahuluan
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) adalah warisan dari sebuah gerakan yang memiliki akar ideologis kuat, berdiri di atas fondasi Islam yang progresif, serta teruji dalam medan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, dalam perjalanan panjangnya, PSII tidak luput dari dinamika, konflik internal, dan tantangan zaman yang terus berubah. Kini, di tengah era reformasi yang nyaris tanpa arah ideologis, pertanyaan besar muncul, apakah PSII masih menjadi kendaraan perjuangan cita-cita kemerdekaan sejati, atau telah terjerat dalam ilusi kekuasaan semu yang mengaburkan identitasnya?
Sejarah Singkat dan Cita-Cita Awal
Didirikan sebagai kelanjutan dari Syarikat Islam (SI) yang lahir di awal abad ke-20, PSII tampil sebagai partai politik berbasis Islam pertama yang memadukan semangat keumatan dengan perjuangan anti-kolonial. Tokoh-tokohnya seperti H.O.S. Tjokroaminoto menanamkan gagasan besar tentang kemerdekaan yang utuh: bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas secara ekonomi, politik, dan budaya.
Kemerdekaan, dalam visi PSII awal, adalah proyek pembebasan umat dari belenggu kapitalisme asing dan feodalisme dalam negeri. PSII ingin membentuk tatanan masyarakat madani yang menjunjung tinggi keadilan sosial, partisipasi rakyat, dan nilai-nilai Islam sebagai sumber etika publik. Di sinilah letak keistimewaan PSII: bukan hanya partai politik, tetapi gerakan ideologis yang ingin mentransformasikan masyarakat.
Ilusi Politik dan Dekadensi Gerakan
Namun, seiring waktu, cita-cita luhur itu mengalami distorsi. Ketika partai-partai mulai tergoda oleh pragmatisme elektoral, PSII pun ikut terseret dalam pusaran kekuasaan. Koalisi-koalisi yang tidak berlandaskan prinsip, kompromi dengan kekuatan status quo, dan kaburnya garis perjuangan membuat PSII seperti kehilangan orientasi.
Dalam beberapa dekade terakhir, PSII nyaris tenggelam dari percaturan politik nasional. Tidak hanya karena tekanan eksternal dan sistem politik yang makin liberal dan transaksional, tetapi juga karena kekosongan visi di internal. Banyak yang melihat PSII hanya sebagai simbol sejarah, bukan lagi kekuatan perubahan. Di sinilah ilusi mulai menjangkiti tubuh partai, ilusi akan kejayaan masa lalu tanpa usaha untuk merekonstruksi cita-cita di masa kini.
Cita-Cita Kemerdekaan Sejati
Kemerdekaan sejati yang diperjuangkan PSII bukanlah sekadar merdeka dari penjajahan asing, tetapi juga pembebasan rakyat dari kemiskinan struktural, korupsi sistemik, dan dekadensi moral. Cita-cita itu masih relevan, bahkan sangat mendesak, di tengah krisis multidimensi yang melanda bangsa ini: ketimpangan ekonomi, oligarki politik, dan keterasingan rakyat dari proses demokrasi.
PSII harus kembali menjadi garda terdepan dalam menyuarakan agenda-agenda kerakyatan yang berakar pada nilai-nilai Islam. Islam dalam perspektif PSII adalah kekuatan emansipatoris, yang menolak eksploitasi, menegakkan keadilan, dan memberdayakan rakyat kecil. Ini bukan Islam simbolik, tapi Islam yang hidup dalam praksis sosial-politik.
Antara Reaktualisasi dan Kebangkitan
Untuk bangkit, PSII harus melakukan dua langkah strategis, reaktualisasi ideologi dan rekonstruksi organisasi.
Pertama, ideologi Islam sosial harus dikontekstualisasikan dalam isu-isu kekinian, ekonomi syariah yang membebaskan, pendidikan berbasis nilai, politik anti-oligarki, dan kedaulatan nasional di bidang pangan, energi, serta budaya. PSII tidak boleh hanya menjadi komentator moral, tetapi pelaku perubahan yang konkret.
Kedua, PSII harus membangun kembali struktur organisasi yang kuat, berbasis kaderisasi ideologis. Tanpa kader yang militan dan tercerahkan, PSII hanya akan menjadi partai papan nama. Penguatan basis-basis di kalangan mahasiswa, buruh, petani, dan pelaku UMKM harus menjadi prioritas. Sebab di sanalah medan tempur utama untuk memperjuangkan kemerdekaan sejati.
Penutup
PSII hari ini berada di antara dua pilihan: terus terjebak dalam ilusi sejarah dan harapan semu, atau bangkit menjemput kembali cita-cita kemerdekaan sejati. Jalan kebangkitan memang tidak mudah. Ia membutuhkan pengorbanan, kesabaran, dan kerja ideologis yang sistematis. Namun bila PSII mampu menjawab tantangan ini, maka ia tidak hanya akan kembali relevan, tetapi juga menjadi suluh bagi umat dan bangsa.
Masa depan Indonesia tidak akan ditentukan oleh partai-partai besar yang kehilangan arah, tetapi oleh kekuatan moral-politik yang berani membawa kembali semangat kemerdekaan ke tengah rakyat. Di titik inilah, PSII punya peluang besar, jika ia berani melepaskan ilusi, dan kembali pada cita-cita awalnya.
Wallahu’alam.