Politik di Era Digital: Antara Harapan dan Tantangan

Politik di Era Digital: Antara Harapan dan Tantangan

 

Di era digital saat ini, politik tidak lagi hanya berlangsung di ruang parlemen atau rapat partai. Media sosial telah menjadi arena baru yang tak kalah panasnya dengan ruang sidang. Dari Twitter ( X ), Facebook hingga Tiktok, semua menjadi panggung tempat gagasan politik disebarkan, diperdebatkan bahkan dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan. Perubahan ini menghadirkan wajah baru demokrasi. Masyarakat kini lebih mudah mengakses informasi politik, ikut serta dalam diskusi, bahkan mengkritik kebijakan pemerintah secara terbuka. Jika dulu berita politik hanya bisa diperoleh lewat koran atau televisi, sekarang siapa pun bisa menyuarakan pendapat hanya dengan ponsel di tangan. Demokrasi lebih terasa hidup karena rakyat bisa menyuarakan suaranya melalui platform media sosial, meskipun kadang suara itu datang dalam bentuk debat di kolom komentar.

 

Namun, sisi lain dari politik digital juga menghadirkan tantangan serius. Banjir informasi sering kali membuat masyarakat kesulitan membedakan antara fakta dan opini. Hoax politik menyebar dengan cepat, memperkeruh suasana, bahkan bisa memecah belah masyarakat. Fenomena Buzzer semakin memperumit keadaan. Alih-alih menjadi ruang dialog yang sehat, media sosial kadang berubah menjadi arena saling serang, penuh provokasi dan minim substansi. Diskusi tentang visi dan program kerap tenggelam oleh narasi emosional yang sengaja dihembuskan untuk meraih simpati instan. Di tengah dinamika ini, melek digital menjadi kebutuhan mutlak. Melek digital bukan sekedar kemampuan menggunakan internet, melainkan juga kecakapan dalam menyeleksi informasi secara kritis. Tanpa itu, masyarakat mudah terseret arus disinformasi. Politik yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan justru tereduksi menjadi pertarungan isu menyesatkan.

 

Fenomena ini terlihat jelas pada pemilihan umum pada tahun 2024 di Indonesia. Para kandidat memanfaatkan media sosial secara masif untuk membangun citra dan mendekati pemilih muda. Prabowo Subianto misalnya unggul di Facebook, Instagram dan Twitter, Ganjar Pranowo tercatat sebagai kandidat dengan pengikut terbanyak di Instagram dan Tiktok, sedangkan Anies Baswedan menjadi tokoh dengan jumlah pengikut terbanyak di Twitter dibandingkan kedua calon lainnya. Gambaran ini menunjukkan bahwa strategi politik digital kini benar-benar menyesuaikan dengan karakteristik platform dan penggunanya.

 

Di sisi lain, pemilu 2024 juga menjadi contoh betapa bahayanya arus disinformasi. Kominfo mencatat puluhan konten hoax politik beredar di Youtobe sepanjang masa kampanye , di Twitter, narasi emosional diproduksi buzzer untuk menciptakan kesan dukungan publik yang sebenarnya semu. Penelitian Solok bahkan menemukan bahwa hoax memengaruhi perilaku pemilih pemula secara signifikan. Tiktok dengan tagar #Pemilu2024 turut menjadi ruang subur penyebaran hoax dalam sebagai berbagai klaster tematik, dari isu kebijkan hingga serangan personal terhadap kandidat. Generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, berada di garis depan politik digital. Mereka merupakan lebih dari separuh jumlah pemilih nasional. Kehadiran mereka di dunia maya membuat partai politik dan kandidat berlomba-lomba menyusun konten kreatif untuk menarik perhatian, mulai dari video pendek, meme, hingga kolaborasi dengan komunitas populer. Tetapi antusiasme ini juga punya sisi rentan, meski aktif di media sosial, tidak semua generasi muda memiliki literasi digital yang kuat, sehingga sebagian tetap mudah terpengaruh narasi yang menyesatkan.

 

Menyadari tantangan tersebut, pemerintah berusaha memperkuat literasi digital masyarakat. Kominfo menggandeng berbagai platform media sosial untuk membatasi penyebaran hoax, sekaligus mengedukasi pengguna lewat kampanye daring. Di tingkat lokal, muncul gerakan masyarkat seperti “ Swipe & Scrool Bijak” di Bali yang mengajak publik untuk lebih berhati-hati sebelum membagikan informasi. Upaya ini penting agar ruang digital bisa menjadi sarana memperkuat demokrasi, bukan merusaknya. Ke depannya. Politik digital pati akan semakin dominan. Pemilu berikutnya kemungkinan besar akan lebih banyak memanfaatkan platform media sosial sebagai alat kampanye. Pertanyaan nya apakah teknologi bisa kita gunakan untuk memperkuat demokrasi atau justru menjadi alat yang memperdalam polarisasi? Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada sejauh mana masyarakat, pemerintah dan partai politik mampu bekerja sama menjaga ruang digital tetap sehat, terbuka dan pastinya produktif.

 

Demokrasi digital di Indonesia memang tengah berkembang pesat. Angka partisipasi politik di media sosial menunjukkan gairah baru, tetapi kualitas demokrasi tetap ditentukan oleh kedewasaan kita sebagai pengguna. Tantangan terbesar bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan bagaimana kita memanfaatkan nya. Jika masyarakat mampu kritis dan bijak, maka politik digital bisa menjadi jalan menuju demokrasi yang lebih inklusif dan kuat. Tetapi jika tidak, ruang digital hanya akan menjadi panggung gaduh yang melupakan tujuan utama politik : mensejahterakan rakyat.

 

Penulis: Angelina Julianda 

(Mahasiswa ilmu sejarah Unand/ 2310712017)