Permainan Anak Nagari di Sumatra Barat: Jejak Budaya, Cermin Nilai, dan Tantangan Pelestariannya

Permainan Anak Nagari di Sumatra Barat: Jejak Budaya, Cermin Nilai, dan Tantangan Pelestariannya

 

Oleh: Nabila Zahara

Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 

 

Sumatera Barat terkenal dengan masyarakat Minangkabau yang kental akan adat dan filosofi hidup “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,” menyimpan kekayaan budaya yang sangat beragam. Salah satu aspek penting namun sering kali dilupakan dari budaya Minang adalah permainan anak nagari. Ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan warisan tak ternilai yang mencerminkan nilai-nilai sosial, spiritual, dan sejarah dari masyarakat Minang itu sendiri.

 

Permainan anak nagari tidak muncul begitu saja. Ia lahir dan tumbuh bersama masyarakat nagari sejak zaman dahulu. Sebelum hanphone dan teknologi digital menjadi pusat perhatian anak-anak. permainan tradisional menjadi pusat interaksi, hiburan, bahkan pendidikan tidak langsung bagi anak-anak di kampung.

 

Asal-usul dan Sejarah Permainan Anak Nagari

Permainan anak nagari dipercaya telah ada sejak zaman nenek moyang orang Minang. Nagari sebagai sistem pemerintahan adat menjadi tempat utama tumbuhnya budaya kolektif. Anak-anak belajar banyak hal bukan hanya dari keluarga inti, tetapi juga dari sesama anak di kampung. Permainan menjadi ruang sosial di mana mereka belajar bekerja sama, bersaing sehat, memahami batas, dan menghargai satu sama lain.

 

Menurut catatan sejarah lisan masyarakat, permainan seperti sipak rago dan jenjang orok sudah dikenal jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Di masa kolonial, permainan ini menjadi bentuk pelepas lelah setelah anak-anak pulang dari sawah atau membantu orang tua. Beberapa permainan bahkan digunakan untuk menyampaikan pesan tersirat tentang perlawanan atau kebanggaan budaya, karena saat itu segala bentuk budaya lokal dianggap remeh oleh penjajah.

 

Dalam wawancara dengan Mak Tini, seorang perempuan Minang berusia 72 tahun dari padang, ia bercerita:

“Dulu, kami main jenjang orok di halaman rumah gadang. Kami bikin ayunan dari tali dan batang pisang. Tak ada mainan mahal, tapi kami bahagia. Anak-anak sekarang lebih suka HP, padahal permainan kami dulu bukan hanya seru, tapi juga ngajarin banyak hal.”

 

Kata “nagari” sendiri dalam budaya Minang bukan sekadar nama wilayah administratif. Ia punya makna mendalam: tempat lahir, tempat tumbuh, tempat belajar hidup. Maka tak heran permainan anak nagari pun punya posisi yang sangat penting dalam pembentukan karakter generasi muda Minangkabau.

 

Ragam Permainan Anak Nagari dan Nilai yang Terkandung

 

1. Jenjang Orok/janjang orok 

Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan. Permainan ini menggunakan gundu yang dibuat dari sisa-sisa pecahan keramik. Permainan ini dibuat dengan menggambar pola orang menggunakan rok di tanah. Dengan pola persegi 5 buah dan rok dibagi menjadi 2 bagian. Cara mainnya dengan cara melempar gundu bagian pola mana yang terletak gundu tidak boleh di injak.

 

2. Petak umpet / cimancik

Permainan ini sudah banyak dikenal orang-orang bahkan di film Upin ipin Malaysia pun memainkan permainan ini. Tetapi kalo di kita sebagai anak nagari Minang tetapnya dipadang biasa menyebutnya main “cimancik”. Permainan ini dimainkan dengan cara satu orang yang jaga tiang sambil berhitung sesuai waktu yang disepakati Yang lainnya bersembunyi. Ketika sudah selesai berhitung orang yang menjaga tiang akan mencari orang yang bersembunyi. Ketika melihat orang yang bersembunyi orang yang menjaga akan menyebut nama orang tersebut sambil berlari kembali ketiang sambil memukul tiang dengan menyebut nama orang tersebut dan nama permainan. Misalnya “olif cimancik”. Itu artinya orang tersebut kalah. Tetapi jika orang itu lebih dahulu memukul tiang itu tandanya dia yang menang. Permainan Ini melatih pengamatan, strategi, dankekuatan.

 

3. Sipak Rago

Permainan menendang bola rotan tanpa menyentuh tanah ini mengasah ketangkasan dan kerja sama. Biasanya dimainkan dalam lingkaran dan sering kali diiringi sorakan atau lagu.

 

4. Orang-orangan

Permainan peran di mana anak-anak berpura-pura menjadi orang dewasa berjualan di pasar, menjadi guru, atau bahkan kepala desa. Ini adalah cara alami anak-anak belajar struktur sosial dan tanggung jawab peran.

 

5. Andok lidi/ menyembunyikan lidi

Permainan ini dimainkan oleh dua orang. Satu orang menutup mata dan satu orang lagi menyembunyikan lidi. Cara bermainnya adalah dengan cara gambar persegi di tanah dan menyembunyikan potongan lidi kecil ke dalam tanah. Setelah selesai menyembunyikan orang yg menutup mata mulai mencari di mana lidi tersebut disembunyikan.

 

Makna Filosofis dan Nilai Sosial

Permainan ini tidak hanya sekadar hiburan. Mereka mengandung filosofi Minangkabau yang kuat:

* Kolektivitas: Dalam budaya Minang, individu tidak bisa berdiri sendiri. Semua permainan anak nagari mengajarkan pentingnya kebersamaan.

* Musyawarah: Permainan seperti sipak rago atau orang-orangan memerlukan kesepakatan aturan bersama.

* Adat dan Alam: Bahan permainan berasal dari alam, menunjukkan harmoni antara manusia dan lingkungan.

 

Tantangan Pelestarian

Sayangnya di era digital ini, permainan anak nagari semakin terpinggirkan. Minimnya ruang bermain, perubahan gaya hidup, dan kurangnya perhatian dari orang dewasa menyebabkan generasi muda lebih mengenal game online ketimbang sipak rago dan permainan lainnya.

 

Banyak orang tua lebih suka anaknya diam di rumah bermain HP daripada keluar rumah. Sekolah pun belum banyak yang memasukkan permainan tradisional ke dalam kegiatan pembelajaran.

 

Permainan anak nagari bukan hanya bagian dari masa kecil yang indah, tetapi juga cerminan dari filosofi hidup masyarakat Minangkabau. Ia mengandung nilai-nilai sosial, pendidikan, dan spiritual yang sangat penting bagi pembentukan karakter anak-anak.

 

Jika tidak dilestarikan, kita akan kehilangan lebih dari sekadar permainan; kita akan kehilangan bagian penting dari jati diri budaya Minangkabau. Oleh karena itu, mari hidupkan kembali permainan anak nagari di halaman rumah, di sekolah, di festival budaya agar generasi mendatang tetap menyentuh akar mereka sambil menatap masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *