Perantauan Minangkabau: Adaptasi dan Perlawanan Budaya di Bawah Bayang-Bayang Kolonialisme
Penulis: Viola Dinda Gustia
(Mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universita Andalas Padang)
Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan berbagai kebijakan yang secara mendasar mengubah struktur ekonomi dan sosial masyarakat Minangkabau diantaranya yaitu Eksploitasi Ekonomi. Setelah berakhirnya Perang Padri (1821-1837), Belanda semakin memperkuat kekuatan mereka. Sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang diterapkan secara terbatas di beberapa wilayah Minangkabau, terutama untuk produk kopi dan tebu dengan harga yang sangat rendah, memaksa para petani mengalihkan lahan dan tenaga kerja dari produksi pangan ke produksi barang ekspor. Di wilayah dataran tinggi Minangkabau, petani diwajibkan menanam kopi dan hasilnya dijual terhadap kolonial Belanda dengan harga yang sudah ditentukan, sering kali jauh lebih rendah daripada harga pasar. Kondisi ini menyebabkan meluasnya kemiskinan dan hilangnya kepemilikan tanah adat karena ketidakmampuan membayar pajak atau memenuhi target produksi. Selain itu, beban pajak yang tinggi semakin memberatkan masyarakat. Akibatnya, banyak petani kehilangan tanah dan sumber penghidupan, sehingga terpaksa mencari pekerjaan di tempat lain.
Orang Minangkabau terkenal dengan cerdik lagi pandai dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru baik tempat tinggal dan tempat rantau karena orang Minangkabau berpegang teguh pada ungkapan “dima bumi dipijak, disitu langit dijunjuang” (dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung). Sehingga dengan merantau orang Minangkabau dapat dengan cepat berbaur dan bercengkrama dengan penduduk asli di wilayah rantau. Bagi masyarakat Minangkabau tradisi merantau bukanlah hal yang baru melainkan sudah ada dari zaman nenek moyang dahulunya. Merantau yang dilakukan orang Minangkabau ada yang bersifat spontan, bersifat kemauan sendiri dikarenakan adanya beberapa faktor yang menjadi alasan untuk merantau dan merantau karena terpaksa baik dipaksa oleh keadaan dan lingkungan pada saat itu.
Orang perantau Minangkabau juga terkenal dengan pantang menyerah saat berada di perantauan. Pantang pulang ke kampung halaman sebelum berhasil dan berjaya di tanah perantauan. Hal ini tak lepas dari pegangan hidup perantau yang sesuai dengan ungkapan peribahasa yaitu “baraja ka nan manang, mancontoh ka nan sudah” (belajar dari yang menang, mencontoh ke yang gagal) dan “takuruang nak dilua, taimpik nak diateh” (Terkurung mau diluar, terhimpit mau diatas). Dari dua ungkapan ini mencerminkan orang Minangkabau pantang menyerah. Sejak dari kecil orang Minangkabau telah dididik untuk menjadi orang yang kuat dan tabah dalam menghadapi segala rintangan hidup. Sehingga orang Minangkabau dalam merantau juga sebagai bentuk strategi penyesuaian diri dan perlawanan sosial, ekonomi, pendidikan dan politik.
Orang Minangkabau pergi merantau ke wilayah perkebunan di Sumatera Timur seperti Deli dan Langkat, ke daerah pertambangan di Bangka dan Belitung, serta ke pusat-pusat perdagangan di Palembang, Medan, hingga Singapura dan Semenanjung Malaya. Mereka berusaha dalam bidang perdagangan, kerajinan tangan, dan jasa. Merantau juga dimanfaatkan sebagai cara untuk menuntut ilmu. Banyak pemuda Minangkabau yang pergi ke Mekkah untuk mendalami ajaran agama Islam, dan sekembalinya mereka menjadi ulama yang membawa pembaruan pemikiran. Di samping itu, sejumlah pusat pendidikan modern di Jawa, seperti Batavia (Jakarta) dan Bandung, menjadi tujuan bagi mereka yang ingin memperoleh pendidikan Barat, yang mana kerap membuka jalan menuju lingkungan kolonial maupun keterlibatan dalam gerakan nasional. Adapun pola-pola migrasi Minangkabau terbagi menjadi 3 yaitu:
1. Migrasi Di dalam : terjadi pada kawasan Minangkabau dengan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Padang, yang berperan sebagai pelabuhan utama dan pusat aktivitas dagang kolonial, menarik minat banyak pemuda dari daerah pedalaman untuk bekerja di bidang pelabuhan, perdagangan, maupun sebagai pekerja kasar. Di sisi lain, Bukittinggi yang juga menjadi pusat administrasi kolonial di daerah dataran tinggi, menyediakan peluang kerja di sektor jasa dan pemerintahan.
2. Migrasi Di luar : dengan perpindahan penduduk dari Minangkabau ke berbagai wilayah yang ada di Indonesia, bahkan sampai ke mancanegara. Beberapa tujuan migrasi di luar antara lain adalah wilayah Jawa tepatnya Jakarta, Surabaya, dan Bandung, wilayah Medan Sumatera Utara, dan juga negara Malaysia.
3. Migrasi Musiman : Migrasi musiman terjadi pada waktu-waktu tertentu dalam setahun, khususnya saat musim panen atau hari-hari besar seperti hari raya. Banyak masyarakat Minangkabau yang merantau pada waktu ini untuk memperoleh penghasilan tambahan atau pulang ke kampung halaman guna bertemu dengan keluarga.
Diaspora Minangkabau memiliki peran penting dalam perekonomian daerah asal mereka. Para perantau mengirimkan uang ke kampung halaman, yang kemudian dimanfaatkan untuk pembangunan rumah, pendirian usaha, serta membiayai pendidikan. Uang yang dikirim oleh para perantau sering menjadi sumber utama untuk memperbaiki “rumah gadang nan lah rusak”, membiayai pendidikan anak-anak hingga ke jenjang lebih tinggi, atau membuka lapau (warung kecil) di kampung. Hal ini mencerminkan peran besar perantau dalam mendukung keberlangsungan ekonomi di kampung.
Diaspora Minangkabau juga mempererat hubungan sosial dan budaya antara kelompok Minangkabau di tanah asal dan di perantauan. Para perantau mendirikan berbagai organisasi sosial dan budaya yang berfokus pada pelestarian adat Minangkabau serta memberikan dukungan bagi sesama perantau. Dibentuknya “Persatuan Minangkabau” atau “Ikatan Keluarga Minang” di kota-kota besar yaitu Jakarta, Medan, dan Surabaya. Organisasi-organisasi ini selain menjadi tempat berkumpul dan menjaga hubungan kekeluargaan, juga memberikan bantuan sosial, mengatur pemakaman, serta membantu perantau baru dalam proses penyesuaian diri.
Masakan Minangkabau seperti rendang dan sate Padang menjadi terkenal di seluruh Indonesia bahkan hingga ke luar negeri karena adanya jaringan rumah makan Padang yang dibangun oleh para perantau. Selain itu, pertemuan dengan budaya lain di perantauan juga memperkaya warisan budaya Minangkabau, meskipun terdapat tantangan dalam mempertahankan penggunaan bahasa Minang asli terutama di kalangan generasi perantau yang lahir di luar daerah Minangkabau. Di Jakarta, contohnya, banyak pengusaha Minangkabau yang berhasil dalam bidang perdagangan, kuliner, dan bangunan, sehingga memberikan dampak positif bagi perekonomian ibu kota. Kehadiran mereka juga menambah keragaman budaya di kota-kota besar melalui tradisi, seni, dan nilai-nilai kehidupan Minangkabau.