Oleh : Ardinal Bandaro Putiah Ketua III PB Pemuda Muslimin Indonesia. Ketua Umum PW Pemuda Muslimin Indonesia Sumatera Barat.
Isu revisi Undang-Undang Kejaksaan yang memberikan kewenangan lebih besar kepada Kejaksaan dalam mengawasi, mengendalikan, dan bahkan mengambil alih penyelidikan serta penyidikan dari Kepolisian telah menjadi perdebatan hangat dalam diskursus hukum di Indonesia. Dalam wacana ini, terdapat kekhawatiran bahwa perubahan tersebut dapat mereduksi kewenangan Kepolisian dan menimbulkan ketimpangan dalam sistem peradilan pidana.
Sebagai organisasi kepemudaan yang memiliki akar perjuangan dalam penegakan keadilan dan supremasi hukum, Pemuda Muslimin Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menyikapi perubahan yang berpotensi mempengaruhi tatanan hukum di negeri ini. Oleh karena itu, dalam esai ini, penulis akan menganalisis dampak revisi RUU Kejaksaan terhadap Kepolisian, serta bagaimana sikap yang seharusnya diambil oleh Pemuda Muslimin Indonesia dalam merespons isu ini.
Dominasi Kejaksaan dan Reduksi Kewenangan Kepolisian
Dalam sistem hukum yang berlaku saat ini, Kepolisian berperan sebagai penyelidik dan penyidik utama dalam penegakan hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 dan 7 KUHAP, yang mengatur bahwa penyelidikan dan penyidikan merupakan domain Kepolisian sebelum berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan untuk tahap penuntutan.
Jika revisi RUU Kejaksaan memberikan Kejaksaan kewenangan untuk:
1. Mengawasi dan mengendalikan penyelidikan serta penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian,
2. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu,
3. Mengambil alih kasus yang sedang ditangani Kepolisian,
maka akan terjadi pergeseran kekuasaan yang signifikan. Kejaksaan akan menjadi lebih dominan dalam sistem peradilan pidana, sementara Kepolisian akan kehilangan sebagian besar kewenangan yang selama ini menjadi fungsinya.
Dampak bagi Kepolisian dan Sistem Hukum
Jika revisi ini disahkan, dampaknya bagi Kepolisian akan cukup besar, antara lain:
1. Berkurangnya Otonomi Kepolisian
Kepolisian akan kehilangan kendali penuh dalam menangani kasus, karena setiap tindakan penyelidikan dan penyidikan harus berada di bawah pengawasan Kejaksaan.
Peran polisi dalam menegakkan hukum akan semakin terbatas dan bisa menjadi sekadar eksekutor teknis, tanpa memiliki kewenangan strategis.
2. Munculnya Tumpang Tindih dan Konflik Kelembagaan
Dengan kewenangan baru Kejaksaan, ada potensi konflik antara dua institusi penegak hukum ini.
Kejaksaan dan Kepolisian bisa saling berebut kewenangan dalam menangani kasus-kasus besar, yang berpotensi mengganggu efektivitas penegakan hukum.
3. Risiko Politisasi Hukum
Kejaksaan adalah lembaga yang lebih dekat dengan eksekutif dibandingkan Kepolisian. Dengan kewenangan yang lebih besar, ada potensi Kejaksaan digunakan sebagai alat politik dalam menangani atau menutup kasus tertentu.
4. Menurunnya Efisiensi Penegakan Hukum
Dengan birokrasi yang lebih panjang dan adanya dualisme kewenangan, proses penyelidikan dan penyidikan bisa menjadi lebih lambat.
Hal ini justru bisa menghambat keadilan bagi masyarakat yang menuntut penyelesaian kasus secara cepat dan transparan.
Sikap Pemuda Muslimin Indonesia
Menurut penulis sebagai organisasi kepemudaan yang memiliki kepedulian terhadap sistem hukum dan keadilan sosial, Pemuda Muslimin Indonesia perlu mengambil sikap yang tegas dalam menghadapi isu ini. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
1. Menolak Monopoli Kewenangan oleh Kejaksaan
Pemuda Muslimin Indonesia harus bersikap kritis terhadap upaya menjadikan Kejaksaan sebagai institusi yang terlalu dominan dalam sistem peradilan pidana.
Pembagian kewenangan yang seimbang antara Kepolisian dan Kejaksaan harus tetap dijaga demi prinsip check and balance dalam penegakan hukum.
2. Mendorong Penguatan Peran Kepolisian sebagai Penegak Hukum
Revisi undang-undang seharusnya bukan untuk melemahkan Kepolisian, tetapi untuk memperkuat koordinasi antara Kepolisian dan Kejaksaan agar penegakan hukum lebih efektif.
Kepolisian harus tetap diberikan ruang independen dalam penyelidikan dan penyidikan tanpa intervensi berlebihan dari Kejaksaan.
3. Mengawasi Potensi Politisasi Penegakan Hukum
Pemuda Muslimin Indonesia harus menjadi garda terdepan dalam mengawasi penegakan hukum agar tidak digunakan sebagai alat politik oleh pihak tertentu.
Kewenangan hukum tidak boleh diserahkan hanya kepada satu lembaga tanpa pengawasan dan mekanisme kontrol yang jelas.
4. Menggalang Aliansi dengan Elemen Masyarakat Sipil
Penting bagi Pemuda Muslimin Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan akademisi, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil lainnya dalam menyuarakan kritik terhadap revisi RUU Kejaksaan.
Diskusi publik dan kajian akademik harus dilakukan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat tentang dampak dari revisi ini.
Dengan demikian menurut pandangan penulis Revisi RUU Kejaksaan yang berpotensi mereduksi kewenangan Kepolisian harus disikapi dengan kritis dan hati-hati. Jika revisi ini diterapkan tanpa mekanisme kontrol yang jelas, maka Kepolisian bisa kehilangan perannya sebagai institusi utama dalam penyelidikan dan penyidikan, yang berpotensi melemahkan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Oleh karena itu, revisi RUU Kejaksaan perlu dikaji lebih komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampaknya terhadap sistem penegakan hukum, potensi konflik kelembagaan, serta risiko politisasi hukum. Pengkajian yang matang sangat penting agar revisi ini tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari yang justru merusak tatanan hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Sebagai organisasi pemuda yang memiliki visi besar dalam menegakkan keadilan dan supremasi hukum, Pemuda Muslimin Indonesia harus bersuara dan mengambil sikap tegas dalam menyikapi revisi ini. Penegakan hukum yang adil hanya bisa terwujud jika ada keseimbangan kewenangan antara Kepolisian dan Kejaksaan, bukan dominasi salah satu pihak.
Melalui advokasi, diskusi, dan keterlibatan aktif dalam kebijakan publik, Pemuda Muslimin Indonesia dapat menjadi motor perubahan dalam menjaga sistem hukum yang adil, transparan, dan bebas dari kepentingan politik tertentu.