Pemilu Nasional dan Lokal: Apakah Pemisahan Benar-Benar Menguntungkan Demokrasi?
Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia telah mengalami berbagai transformasi sejak era reformasi. Salah satu isu krusial yang terus menjadi perdebatan adalah format penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal—apakah sebaiknya dilakukan serentak atau dipisah. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden dan anggota DPR, sementara pemilu lokal mencakup pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) dan DPRD. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca Pemilu Serentak 2019, wacana pemisahan kembali pemilu nasional dan lokal semakin kuat, dengan alasan kelelahan administratif, kompleksitas teknis, serta kekhawatiran terhadap kualitas demokrasi.
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah pemisahan pemilu benar-benar akan membawa perbaikan demokrasi di Indonesia, atau justru memperkuat politik transaksional dan melemahkan partisipasi publik? Tulisan ini akan membahas akar permasalahan, dampak penyatuan dan pemisahan pemilu, serta bagaimana merumuskan sistem pemilu yang benar-benar berpihak pada demokrasi substantif, bukan hanya prosedural.
Latar Belakang Serentaknya Pemilu dan Kompleksitas Teknis
Pemilu serentak nasional dan lokal pertama kali diterapkan secara penuh pada tahun 2019 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 14/PUU-XI/2013. Argumen utama MK adalah untuk menguatkan sistem presidensial dengan mendorong efisiensi, keserentakan mandat politik, dan stabilitas pemerintahan. Dalam praktiknya, pemilu serentak 2019 menyatukan lima kotak suara dalam satu hari pemungutan suara: Presiden-Wapres, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Namun, kompleksitas teknis pemilu serentak ini sangat tinggi. Banyak petugas KPPS kelelahan, bahkan ratusan meninggal dunia akibat beban kerja yang luar biasa. Proses rekapitulasi juga menjadi sangat panjang, dan muncul banyak kekacauan administratif yang menurunkan kepercayaan publik terhadap KPU. Penggabungan pemilu nasional dan lokal ternyata tidak sesederhana kalkulasi efisiensi, melainkan berdampak besar pada “beban teknis, kualitas pengawasan, dan akurasi suara”.
Tak hanya itu, pemilu serentak juga menyebabkan percampuran isu nasional dan lokal, di mana pemilih cenderung lebih fokus pada calon presiden daripada calon legislatif atau kepala daerah. Dalam situasi ini, kandidat lokal bisa “nebeng popularitas” pasangan calon presiden (coattail effect), tanpa perlu membangun kedekatan langsung dengan masyarakat. Hal ini merugikan kualitas demokrasi lokal yang seharusnya berbasis pada kedekatan dan akuntabilitas antara pemilih dan kandidat.
Argumen Mendukung Pemisahan Pemilu: Menyelamatkan Demokrasi Lokal
Pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal dinilai dapat menjadi langkah penting untuk menyelamatkan demokrasi lokal yang semakin terpinggirkan. Demokrasi lokal merupakan akar dari partisipasi rakyat, karena disinilah aspirasi paling konkret dan kebutuhan masyarakat diwujudkan. Jika pemilu kepala daerah dilangsungkan bersamaan dengan pemilu presiden, maka perhatian publik akan tertuju pada level nasional, sementara calon kepala daerah justru kehilangan ruang untuk mengartikulasikan program berbasis kebutuhan lokal.
Dengan pemisahan, fokus pemilih bisa lebih terarah. Ketika hanya ada satu jenis pemilu, pemilih cenderung lebih mampu memahami visi-misi kandidat, memperhatikan rekam jejak, dan menuntut akuntabilitas pasca pemilu. Selain itu, pemisahan juga mendorong kaderisasi politik daerah yang lebih sehat, karena kandidat tidak terlalu bergantung pada mesin partai pusat atau figur nasional, melainkan dituntut memiliki basis dukungan di akar rumput.
Dari sisi teknis, pemisahan pemilu dapat mengurangi beban kerja penyelenggara dan meningkatkan kualitas pemungutan serta rekapitulasi suara. Proses logistik menjadi lebih sederhana, pengawasan lebih fokus, dan potensi konflik bisa diminimalkan. Hal ini tentu berdampak pada meningkatnya integritas hasil pemilu dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Namun, Pemisahan Bukan Tanpa Risiko
Meskipun secara teoritis pemisahan pemilu tampak menjanjikan, namun dalam praktiknya tetap memiliki risiko yang perlu dicermati. Pertama, biaya politik dan anggaran negara akan meningkat drastis. Menyelenggarakan dua pemilu besar dalam waktu berbeda membutuhkan logistik dua kali lipat, melibatkan SDM lebih banyak, dan memperpanjang tahapan politik yang melelahkan. Ini dapat memicu kejenuhan publik terhadap politik dan menurunkan partisipasi pemilih pada pemilu kedua (fatigue election).
Kedua, pemisahan berpotensi memperpanjang masa ketegangan politik dan polarisasi masyarakat. Jika pemilu presiden dilaksanakan lebih awal, maka sisa waktu hingga pilkada akan menjadi ruang tarik-menarik kepentingan yang memperuncing konflik di akar rumput. Apalagi dalam kondisi Indonesia yang kerap terjebak dalam politik identitas, pemisahan bisa menjadi kesempatan bagi elite politik untuk memainkan isu sektarian lebih luas.
Ketiga, pemisahan pemilu juga dapat dimanfaatkan oleh oligarki politik untuk memperkuat kontrol kekuasaan secara bertahap, dengan memanfaatkan momentum pemilu lokal sebagai batu loncatan politik jangka panjang. Tanpa pengawasan ketat dan regulasi pembiayaan politik yang transparan, pemilu lokal yang dipisah justru bisa menjadi ajang konsolidasi oligarki daerah yang melemahkan semangat demokrasi rakyat.
Mencari Titik Temu: Demokrasi Substantif, Bukan Sekadar Efisiensi
Pertanyaan utama yang harus kita renungkan bukanlah apakah pemilu sebaiknya serentak atau terpisah, tetapi: apakah sistem pemilu kita saat ini benar-benar mendorong demokrasi substantif? Demokrasi substantif bukan hanya soal pelaksanaan pemilu secara rutin, tetapi tentang kualitas representasi, partisipasi bermakna, dan hasil kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Dalam konteks itu, baik model serentak maupun pemisahan seharusnya diukur dari efektivitasnya dalam menghadirkan pemimpin yang kredibel, transparan, dan dekat dengan rakyat. Jika pemilu serentak menjadikan rakyat hanya sebagai objek suara dalam sistem yang terlalu teknokratis, maka ia gagal. Jika pemilu terpisah justru membuka ruang untuk praktik korupsi yang lebih besar di tingkat lokal, maka ia juga tak layak dipertahankan.
Oleh karena itu, solusi ideal bukan semata-mata soal format waktu pemilu, tetapi menyangkut perbaikan struktural sistem pemilu itu sendiri. Ini mencakup:
Reformasi sistem partai politik agar lebih demokratis dalam proses pencalonan;
Pengawasan ketat terhadap dana kampanye dan potensi politik uang;
Pendidikan politik yang berkelanjutan bagi pemilih;
Peningkatan kapasitas penyelenggara pemilu;
Penguatan peran masyarakat sipil dan media dalam mengawal integritas pemilu.
Penutup: Demokrasi Bukan Soal Jadwal, Tapi Soal Kualitas
Pemisahan antara pemilu nasional dan lokal mungkin menawarkan sejumlah solusi administratif dan peluang perbaikan demokrasi lokal. Namun, pemisahan tidak akan otomatis meningkatkan kualitas demokrasi jika tidak disertai dengan reformasi menyeluruh dalam sistem politik kita. Sebaliknya, pemilu serentak juga hanya akan menjadi ritual kosong jika dijalankan dengan cara-cara yang tidak demokratis.
Demokrasi bukan soal kapan pemilu diselenggarakan, tetapi bagaimana pemilu dapat menjadi instrumen nyata untuk memperkuat kedaulatan rakyat. Maka dari itu, keputusan tentang format pemilu harus diambil secara hati-hati, berbasis kajian yang mendalam, dan menempatkan rakyat sebagai subjek utama demokrasi, bukan sekadar pemilih yang dimobilisasi setiap lima tahun.
Penulis: Muhamad Alfarozy
Mahasiswa Prodi Pemikiran Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar