Menilai Demokrasi Tanah Datar: Lebih dari Sekadar Pemilu

Menilai Demokrasi Tanah Datar: Lebih dari Sekadar Pemilu

Oleh: Muhamad Alfarozy

Mahasiswa Program Studi Pemikiran Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar

 

Samuel Huntington menggunakan dua pendekatan utama dalam mengukur demokrasi suatu negara. Pendekatan pertama merujuk pada teori Joseph Schumpeter dan Jonathan Sunshine. Menurut Schumpeter, demokrasi prosedural memiliki dua ciri utama: pertama, adanya kontestasi atau persaingan yang sehat antara partai politik dan/atau calon pemimpin dalam memperebutkan suara rakyat; kedua, adanya partisipasi warga negara dalam menilai dan membuat keputusan melalui proses pemilihan. Dengan demikian, pemilu yang jujur dan adil merupakan elemen pokok dari demokrasi prosedural.

 

Namun, Huntington menghadapi kendala saat mencoba mengukur kadar demokrasi dengan pendekatan Schumpeter, khususnya pada konteks abad ke-19 di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Meskipun sudah ada kompetisi politik, hak pilih masih terbatas pada kelompok tertentu, terutama laki-laki yang membayar pajak atau memiliki status ekonomi tertentu. Perempuan dan kelompok marginal lainnya belum memiliki hak politik, baik untuk memilih maupun dipilih, sehingga demokrasi saat itu belum inklusif.

 

Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, Huntington menggunakan pendekatan Jonathan Sunshine. Sunshine mengusulkan dua indikator dasar dalam mengukur demokrasi: pertama, lebih dari 50 persen laki-laki dewasa berpartisipasi dalam pemilu; kedua, kepala eksekutif dipilih melalui pemilu atau oleh mayoritas parlemen. Meskipun pendekatan ini lebih terukur, ia tetap menyisakan kelemahan, yaitu terlalu teknis dan tidak mempertimbangkan hak-hak politik kelompok yang terpinggirkan, seperti perempuan dan masyarakat adat.

 

Sebagai respons atas keterbatasan pendekatan klasik, sejumlah lembaga internasional kemudian mengembangkan indikator demokrasi yang lebih komprehensif. Misalnya, Freedom House menetapkan tujuh indikator utama: (1) proses pemilu, (2) pluralisme dan partisipasi politik, (3) berfungsinya pemerintahan, (4) kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, (5) hak berserikat dan berorganisasi, (6) supremasi hukum, serta (7) otonomi pribadi dan perlindungan hak individu.

 

Sementara itu, Economist Intelligence Unit (EIU) menawarkan lima dimensi demokrasi: (1) proses pemilu dan pluralisme, (2) kebebasan sipil, (3) berfungsinya pemerintahan, (4) partisipasi politik, dan (5) budaya politik. Di sisi lain, International IDEA mengembangkan lima indikator yang menekankan: (1) pemerintahan perwakilan, (2) perlindungan hak asasi manusia, (3) pengawasan pemerintahan, (4) administrasi publik yang imparsial, dan (5) keterlibatan masyarakat secara partisipatif.

 

Perkembangan berbagai ukuran demokrasi ini mencerminkan pentingnya pembaruan cara pandang terhadap demokrasi, agar lebih sesuai dengan kompleksitas zaman dan dinamika masyarakat modern. Demokrasi tidak lagi hanya diukur dari pemilu, tetapi juga dari kualitas institusi, perlindungan hak-hak sipil, serta partisipasi yang inklusif.

 

Dalam konteks Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) telah merumuskan sintesis dari berbagai indikator demokrasi internasional tersebut ke dalam empat indikator utama, yaitu:

Pemilu yang bebas dan adil,

Pemerintahan yang efektif,

Perlindungan hak asasi manusia serta jaminan atas kesetaraan dan kebebasan,

Masyarakat sipil yang kuat dan independen.

 

Meskipun Perludem tidak secara khusus merancang indikator ini untuk mengukur demokrasi di tingkat lokal, saya menggunakan keempat indikator tersebut sebagai alat analisis untuk memahami bagaimana demokrasi dijalankan di tingkat lokal, khususnya di Kabupaten Tanah Datar. Pendekatan ini membantu melihat demokrasi tidak hanya dalam aspek prosedural, tetapi juga dalam dimensi substansial yang menyangkut efektivitas pemerintahan dan keterlibatan masyarakat secara lebih luas.

 

Pemilu Bebas dan Adil

 

Pemilihan kepala daerah di Tanah Datar tahun 2024 diindikasikan mengalami banyak pelanggaran. Hal ini terbukti dari adanya 14 laporan dugaan pelanggaran selama tahapan pilkada berlangsung. Isu yang berkembang antara lain dugaan ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) serta dugaan janji pemberian uang oleh salah satu pasangan calon.

 

Meskipun beberapa dugaan kasus tidak terbukti, kondisi ini menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah di Tanah Datar belum sepenuhnya bebas dan adil. Keterlibatan ASN yang menguntungkan satu pasangan calon tentu merugikan pasangan calon lainnya.

 

Selain itu, terdapat pemungutan suara ulang pada 1 Desember dan ditemukannya adanya pilihan ganda di satu TPS, tepatnya di TPS 9 Nagari Sungayang. Situasi ini semakin diperkuat dengan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan melalui PHPU Pilkada Tanah Datar 2024. Walaupun gugatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak memenuhi syarat formil permohonan serta alasan yang kurang jelas atau kabur.

 

Selain itu, terdapat juga dugaan pelanggaran berupa pengrusakan alat peraga kampanye dan praktik money politic.

 

Pemerintahan yang Efektif

 

Efektivitas pemerintahan daerah Tanah Datar masih tergolong lemah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana, seperti dalam kasus erupsi Gunung Marapi. Meskipun pemerintah menunjukkan respon cepat dalam pelaksanaan kebijakan, namun terdapat berbagai kelemahan yang cukup signifikan. Beberapa di antaranya adalah lemahnya koordinasi awal antarinstansi, terbatasnya sistem evaluasi yang sistematis, serta kurang optimalnya sosialisasi dan pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan kebijakan.

 

Program seperti “Satu Event Satu Nagari” juga menuai banyak kritik. Kritik tersebut mencakup efisiensi yang rendah, ketepatan sasaran yang dipertanyakan, dan responsivitas yang belum memadai terhadap kebutuhan masyarakat lokal, seperti yang terlihat di Nagari Batu Bulek. Program ini dinilai lebih bersifat seremonial dibandingkan substansial, karena tidak memberi dampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

 

Selain itu, kebijakan bajak sawah gratis juga mengalami kegagalan dalam implementasinya. Walaupun secara konsep program ini bertujuan untuk meringankan beban petani, kenyataannya di lapangan masih ditemukan petani yang harus mengeluarkan biaya sendiri untuk menyewa bajak. Hal ini menunjukkan bahwa program tersebut tidak mencapai target, akibat keterbatasan sumber daya, lemahnya pengawasan, serta struktur birokrasi yang rumit dan tidak adaptif terhadap kondisi di lapangan.

 

Alih-alih memberikan solusi, kebijakan ini justru menambah beban baru bagi petani. Ini mencerminkan bahwa kebijakan publik yang tidak dilandasi oleh perencanaan yang matang, keterlibatan masyarakat, dan evaluasi berkala berpotensi besar untuk gagal. Pemerintah perlu menyusun kebijakan berbasis kebutuhan riil masyarakat (bottom-up policy), bukan sekadar pendekatan dari atas (top-down) yang sering kali tidak sesuai dengan kondisi lokal.

 

Lebih jauh, pemerintahan yang efektif seharusnya tidak hanya cepat tanggap, tetapi juga mampu membangun sistem yang inklusif, transparan, dan berkelanjutan. Koordinasi lintas sektor, partisipasi masyarakat, serta transparansi dalam penggunaan anggaran publik harus menjadi prioritas agar setiap program benar-benar memberikan manfaat konkret bagi rakyat.

 

Perlindungan Hak Asasi serta Jaminan Kesetaraan dan Kebebasan

 

Terkait kebebasan dan keyakinan dalam beragama, sejumlah kasus di Kabupaten Tanah Datar mencerminkan masih adanya pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara. Salah satu contoh adalah kesulitan umat Katolik di Batu Sangkar dalam memperoleh tempat ibadah yang layak. Meskipun perjuangan telah dilakukan sejak tahun 1982 dan sempat diperbolehkan beribadah di aula Makodim 0307 Tanah Datar sejak 1986, situasi berubah pada tahun 2018 ketika mereka diminta untuk mengosongkan aula tersebut. Alasannya adalah aula akan digunakan sebagai tempat tinggal prajurit, ditambah dengan aturan internal TNI yang melarang adanya tempat ibadah di dalam kompleks asrama. Kurangnya komunikasi antara pihak gereja dengan pimpinan Kodim yang baru turut memperumit situasi ini. Upaya relokasi ke aula Kodim Pagaruyung pun menemui kendala, karena adanya persyaratan yang cukup ketat: aula hanya boleh digunakan untuk ibadat mingguan, seluruh peralatan ibadah tidak boleh disimpan di lokasi dan harus dibawa pulang setelah ibadah, serta kegiatan dapat dibatalkan sewaktu-waktu bila ada agenda Kodim. Hingga kini, meskipun Dewan Gereja telah mengajukan permohonan kepada Bupati Tanah Datar, belum ada kejelasan tindak lanjut dari pihak pemerintah daerah.

 

Kasus lain yang menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap kebebasan beragama adalah diskriminasi terhadap penganut paham Salafi di salah satu jorong di Nagari Pariangan. Mereka tidak mendapatkan perlakuan yang adil dalam kehidupan bermasyarakat—tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial, dilarang hadir di acara pernikahan, dibatasi ruang diskusi, bahkan tidak diperbolehkan berkurban di surau setempat. Hal ini jelas merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang seharusnya dilindungi oleh negara.

 

Negara semestinya hadir untuk melindungi kelompok-kelompok rentan dan terpinggirkan. Namun pada kenyataannya, hak kelompok lain pun turut terabaikan. Sebagai contoh, pada tahun 2019, penyandang disabilitas di wilayah ini tidak dapat menggunakan hak politiknya secara optimal, akibat ketiadaan organisasi disabilitas serta minimnya akses terhadap informasi dan materi kampanye.

 

Pelanggaran terhadap hak dasar juga terjadi dalam bidang pendidikan. Kasus penyegelan dua sekolah negeri di Batusangkar menunjukkan bagaimana hak anak atas pendidikan bisa terabaikan. Sementara itu, pada tahun 2021, tercatat 38 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, menambah daftar panjang masalah perlindungan hak asasi manusia yang belum tertangani secara menyeluruh di daerah ini.

 

Kekuatan Masyarakat Sipil

 

Kekuatan masyarakat sipil di Tanah Datar cenderung stagnan dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Keberadaan organisasi kemasyarakatan dan kelompok-kelompok sipil tidak selalu tampak aktif dalam mengadvokasi berbagai permasalahan yang muncul di tingkat lokal. Sepanjang tahun 2025, tercatat hanya dua kali aksi demonstrasi yang terjadi di wilayah ini, dan keduanya mengangkat isu berskala nasional. Sementara untuk isu-isu lokal, tidak terlihat adanya mobilisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi mahasiswa, dalam menyuarakan kepentingan publik.

 

Stagnasi ini, secara sosiologis, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kuat kultur lokal. Tanah Datar dikenal sebagai “Luhak Nan Tuo,” daerah asal mula kebudayaan Minangkabau yang sarat nilai adat dan norma sosial. Dalam konteks ini, muncul pandangan dari sebagian tokoh dan oknum yang menyatakan bahwa demonstrasi bukan bagian dari budaya lokal, sehingga dianggap tidak perlu dilakukan di Tanah Datar. Narasi ini secara tidak langsung menciptakan tekanan sosial yang membungkam kebebasan berpendapat.

 

Padahal, hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk melalui aksi demonstrasi damai, merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi, yakni Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

 

Dengan demikian, minimnya keterlibatan masyarakat sipil dalam mengadvokasi isu-isu lokal bukan hanya menunjukkan lemahnya partisipasi, tetapi juga berpotensi mencerminkan terjadinya pembatasan ruang ekspresi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

 

Kesimpulan

Demokrasi di Tanah Datar tidak cukup diukur hanya dari pemilu. Meski pemilu merupakan aspek penting, masih ditemukan berbagai pelanggaran yang menunjukkan ketidakbebasan dan ketidakadilan. Selain itu, efektivitas pemerintahan dan perlindungan hak asasi masih lemah, terutama bagi kelompok marginal. Keterlibatan masyarakat sipil juga minim akibat tekanan budaya lokal yang membatasi ekspresi politik.

 

Untuk memperkuat demokrasi, perlu upaya holistik yang meliputi pemilu yang bebas dan adil, pemerintahan yang responsif, perlindungan hak asasi, serta penguatan masyarakat sipil. Demokrasi yang sejati harus inklusif, transparan, dan menjamin hak semua warga tanpa diskriminasi demi kemajuan Tanah Datar.