Oleh : Zulhadi Ariza, S. Pd.
Korwil Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Sumatera Barat.
Pada tanggal 10 April 2025, Pengurus Koordinator Wilayah Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Sumatera Barat mengambil langkah resmi untuk menjalin komunikasi dengan Pemerintah Daerah. Surat permohonan audiensi resmi kami masukkan langsung ke Kantor Gubernur Sumatera Barat. Surat tersebut diterima dan ditandatangani oleh seorang sespri (sekretaris pribadi) yang bertugas menerima berkas hari itu.
Kami percaya, menjalani prosedur administratif yang benar adalah bagian dari komitmen kami terhadap etika berorganisasi dan penghormatan kepada jalur resmi pemerintahan. SEMMI ingin membuktikan bahwa aktivis mahasiswa mampu bergerak tanpa mengandalkan jalur belakang, tanpa “menitipkan” pesan melalui koneksi pribadi, atau membangun tekanan di luar mekanisme administrasi yang ada.
Namun, pengalaman yang kami alami justru membuka tabir persoalan klasik yang masih bercokol dalam birokrasi pemerintahan: lambannya respon. Ketika kami melakukan follow up beberapa hari setelahnya, pihak yang kami hubungi justru meminta kami untuk memfotokan ulang tanda terima surat yang sebelumnya telah mereka terima dan tanda tangani. Ini menimbulkan keanehan. Bukankah surat yang sudah diterima seharusnya tercatat dan menjadi bagian dari administrasi internal mereka? Bukankah ada mekanisme disposisi dan alur tindak lanjut yang baku?
Alih-alih mendapatkan jadwal audiensi atau setidaknya penjelasan prosedur lanjutan, surat kami justru terkesan “dioper” ke tangan lain tanpa kejelasan. Ada suasana seolah-olah surat permohonan audiensi dari organisasi mahasiswa hanya dipandang sebagai dokumen minor yang bisa terabaikan di antara tumpukan administrasi lainnya.
Padahal kami sangat memahami bahwa birokrasi seharusnya menjadi sarana pelayanan publik yang efektif, cepat, dan akuntabel. Terlebih lagi, Sumatera Barat di bawah kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur yang saat kampanye mengusung slogan “Sumbar Gerak Cepat” sebuah janji politik yang berkomitmen untuk mempercepat seluruh aspek pelayanan publik, pembangunan, dan tata kelola pemerintahan.
Dalam pemahaman kami, “gerak cepat” bukan semata-mata berbicara soal pembangunan fisik dan infrastruktur, tetapi juga mencakup kecepatan pelayanan administrasi, keterbukaan terhadap aspirasi masyarakat, dan kesigapan merespon kebutuhan warga, termasuk dari kalangan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil.
SEMMI yakin bahwa lambannya respon ini tidak mencerminkan kehendak langsung dari Gubernur dan Wakil Gubernur. Kami percaya, jika Gubernur mengetahui persoalan ini, tentu ada tindakan korektif untuk mempercepat, menyederhanakan, dan memperbaiki layanan birokrasi kepada semua pihak. Bukan hanya kepada pengusaha, bukan hanya kepada proyek-proyek besar, tetapi juga kepada kelompok masyarakat sipil yang dengan penuh hormat mengikuti jalur resmi untuk berdialog.
Apa yang kami alami menjadi pelajaran berharga tentang realitas birokrasi di tingkat pelaksana: antara cita-cita politik di atas dan praktik administratif di lapangan masih terdapat jurang yang perlu dijembatani.
Kami tetap berkomitmen untuk mengikuti prosedur resmi, menegakkan etika audiensi, dan terus berikhtiar agar aspirasi mahasiswa tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai prosesnya.
Pengalaman ini, sekilas kecil, tetapi membawa pesan besar: perubahan Sumatera Barat ke arah yang lebih cepat dan responsif harus dimulai dari perbaikan mindset pelayanan di seluruh lini birokrasi.
Kami dari SEMMI Korwil Sumatera Barat percaya bahwa perjuangan membenahi negeri ini, termasuk Sumbar, harus tetap berjalan dengan keteguhan prinsip, kesabaran menghadapi kenyataan, dan keberanian untuk terus mendorong perubahan, sebagaimana janji yang dulu dikobarkan dalam slogan “Sumbar Gerak Cepat”.