Di tengah gemuruh politik nasional yang mulai menggeliat pasca-Pemilu 2024, dua peristiwa penting berlangsung nyaris berdekatan, namun menyiratkan arah dan napas politik yang tampaknya berbeda jika tidak bisa dibilang kontras. Yang satu adalah Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menobatkan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum, dan satunya lagi adalah Kongres Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (Gekrafs) yang dibuka dengan pidato tajam Sufmi Dasco Ahmad. Bila kita membaca keduanya secara ideologis dan politik, maka ini bukan sekadar dua momentum biasa, melainkan isyarat penting soal wajah dan arah baru kekuasaan di republik ini.
1. PSI: Antara Politik Warisan dan Dinasti Baru
Kongres PSI yang digelar dengan penuh gegap gempita bukanlah sekadar kongres partai biasa. Ia adalah panggung simbolik bagi konsolidasi soft power keluarga Presiden Jokowi pasca berakhirnya masa jabatannya. Penobatan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI bukan saja menegaskan kelanjutan politik dinasti, tetapi juga menunjukkan dengan jelas bahwa PSI bukan lagi partai alternatif, melainkan kendaraan baru dari politik kekuasaan yang sedang mencari bentuk dan pijakan pasca-Jokowi.
PSI yang dulu mengusung jargon “anti-korupsi, anti-intoleransi” kini terjerumus ke dalam paradoks yang ia kutuk sendiri. Apa bedanya PSI kini dengan partai-partai yang dulu mereka cibir sebagai “old politics”? Politik keluarga, penyusupan anak presiden, dan ketundukan pada kekuasaan, semua itu telah membuat PSI kehilangan ruh moralnya.
Dalam perspektif ideologis, PSI tidak lebih dari proyek politik neo-liberal progresif yang kehilangan akarnya. Dengan platform yang cenderung elitis, urban, dan terlalu “Jakarta-minded”, PSI nyaris tak punya resonansi di luar ceruk pemilih media sosial. Ketika kekuasaan menjadi tujuan, bukan lagi alat perjuangan, maka partai kehilangan narasi dan hanya menjadi instrumen personal. PSI bukan lagi partai anak muda pembawa idealisme, tapi partai keluarga yang sedang magang di pusat kekuasaan.
2. Pidato Sufmi Dasco, Sebuah Oposisi yang Disiapkan?
Pidato Sufmi Dasco Ahmad di Kongres Gekrafs seolah menjadi nada sumbang di tengah gegap gempita dukungan terhadap pemerintahan baru. Dasco secara terbuka menyentil peran Gekrafs sebagai ormas yang cenderung berfungsi seperti partai pendukung. Ia mempertanyakan posisi Gekrafs dalam demokrasi, Apakah ia menjadi corong kekuasaan atau alat kontrol terhadap kekuasaan?
Ini bukan sekadar retorika. Pidato ini menunjukkan bahwa dalam tubuh elite politik sendiri, sedang terjadi tarik-menarik arah antara melanjutkan dukungan total terhadap rezim Prabowo-Gibran, atau mulai membentuk oposisi baru yang lebih elegan namun tetap keras. Partai Gerindra, yang selama ini menjadi penopang utama pemerintahan, bisa saja sedang bersiap mengambil dua kaki yaitu satu menopang kekuasaan, satu lagi menjaga jarak sebagai cadangan oposisi.
Jika dibaca secara lebih dalam, pidato Dasco adalah ekspresi kekhawatiran akan dominasi satu kutub kekuasaan yang terlalu kuat, terutama kutub Jokowi dan anak-anaknya. Ketika kekuasaan terlalu terpusat pada satu lingkaran, partai-partai lain merasa cemas kehilangan daya tawar. Dan pidato itu adalah sinyal bahwa tidak semua akan terus diam.
3. Kongres Gekrafs, Lahirnya Ormas Politik Gaya Baru?
Gekrafs yang selama ini bergerak dalam bidang ekonomi kreatif mulai menampakkan wajah politiknya. Dengan merangkul elite, membuka kongres nasional, dan mendapat perhatian dari aktor-aktor kekuasaan, Gekrafs perlahan menjelma menjadi think tank, ormas, sekaligus jejaring kekuasaan baru.
Apa makna politiknya? Gekrafs bisa menjadi kaderisasi non-partai bagi aktor-aktor muda, selebritas, kreator digital, hingga pengusaha muda yang ingin masuk ke ruang kekuasaan. Dalam struktur demokrasi yang makin pragmatis, organisasi seperti ini bisa menjadi partai tanpa partai, menyalurkan aspirasi sekaligus memperluas pengaruh politik.
Namun problemnya, Gekrafs juga tidak lahir dari perlawanan atau kegelisahan ideologis. Ia muncul dari jejaring kekuasaan, dan karenanya cenderung menjadi bagian dari konsolidasi status quo. Ia adalah gerakan ekonomi kreatif, tapi kini mulai memainkan peran politik secara lunak. Akankah ia menjadi front organisasi sipil yang kritis, atau justru menjadi satelit baru dari oligarki kekuasaan? Waktu yang akan menjawab.
4. Membaca Di Antara Barisan, Panggung Baru Politik Indonesia
Jika kita hubungkan ketiganya, maka terbentuk satu pola besar dimana Indonesia sedang bergerak ke arah konsolidasi kekuasaan yang semakin dikendalikan oleh sedikit elite, dengan instrumen yang makin beragam, partai politik (PSI), organisasi sipil (Gekrafs), bahkan platform media sosial dan digital.
Kita menyaksikan deideologisasi partai politik dan organisasi massa. Tidak ada lagi garis perjuangan yang tegas antara kanan atau kiri, rakyat atau elite. Yang ada hanyalah kompetisi memperebutkan akses terhadap sumber daya kekuasaan. Di sinilah demokrasi Indonesia mulai kehilangan substansi, ketika ideologi dikaburkan, narasi dikooptasi, dan kekuasaan hanya menjadi proyek personal dan keluarga.
Pidato Dasco menjadi penting karena satu hal, ia mengingatkan bahwa demokrasi butuh jarak antara rakyat dan penguasa. Ketika semua ormas, semua partai, semua media, bahkan semua konten kreator mulai tunduk dan cari aman kepada kekuasaan, maka kritik menjadi barang mahal. Dan bangsa tanpa kritik adalah bangsa yang menuju otoritarianisme dengan cara yang paling halus, lewat senyum, musik, dan kreativitas.
5. Politik Tanpa Daya Gugat adalah Jalan Menuju Krisis
Apa yang bisa kita pelajari dari Kongres PSI, Pidato Sufmi Dasco, dan Kongres Gekrafs? Bahwa demokrasi tidak cukup dengan partisipasi elektoral. Demokrasi butuh oposisi yang rasional, butuh ruang sipil yang kritis, dan butuh partai yang punya ideologi. Ketika semua itu hilang, maka rakyat hanya menjadi penonton dalam teater kekuasaan yang megah tapi hampa.
Kita perlu kembali bertanya, untuk siapa kekuasaan itu dibentuk? Untuk siapa partai-partai itu didirikan? Untuk siapa organisasi kreatif itu dibangun?
Jika jawabannya bukan untuk rakyat, maka kita sedang berjalan mundur. Bukan karena kudeta, bukan karena perang, tetapi karena rakyat dibius oleh hiburan dan dilucuti dari kesadaran politik.
Wallahu’alam
Oleh: Ardinal Bandaro Putiah
Pondok Syarikat, 21 Juli 2025