Oleh: Fajrul Huda – Ketua Umum Koordinator Wilayah SEMMI Sumatera Barat
Hari Buruh Internasional bukanlah panggung hiburan atau seremoni belaka. Ia adalah jejak historis dari perjuangan kaum pekerja dunia melawan penindasan kapitalisme yang menindas harkat kemanusiaan. Di Haymarket, Chicago, 1886, darah buruh tumpah demi menuntut 8 jam kerja—sebuah hak dasar yang hari ini pun masih menjadi perjuangan sebagian besar pekerja di negeri kita.
Di Indonesia, sejak ditetapkan kembali sebagai hari libur nasional pada era reformasi, May Day seolah menjadi ajang tahunan penuh paradoks: satu sisi ribuan buruh turun ke jalan membawa spanduk tuntutan; di sisi lain, negara justru tampil dengan wajah simbolik, memberikan janji tanpa jaminan, apresiasi tanpa realisasi.
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Buruh 2025 adalah momen yang patut dicermati dengan kaca mata tajam. Apakah ini sekadar panggung pencitraan dalam balutan retorika populisme? Atau sungguh sebuah itikad politik untuk menggeser orientasi negara agar berpihak pada kelas pekerja?
Simbolisme Populisme di Tengah Krisis Kelas
Sebagai aktivis mahasiswa Islam dan kader SEMMI, saya memandang kehadiran Presiden di tengah peringatan buruh sebagai langkah yang perlu diawasi secara kritis. Populisme tanpa transformasi hanya akan meninabobokan buruh dengan ilusi keberpihakan. Kita telah berkali-kali melihat bagaimana elite politik menggunakan panggung gerakan rakyat untuk meredam potensi perlawanan sejati. Kata-kata manis, lagu kebangsaan, dan deklarasi semangat kerja seringkali hanya menjadi tameng untuk menutupi fakta eksploitasi yang semakin brutal.
Di era Prabowo ini, tantangan kita bukan hanya soal keberpihakan, tetapi soal keberanian politik untuk melawan arus neoliberalisme yang semakin merangsek ke dalam kebijakan ketenagakerjaan. Buruh kita bukan hanya butuh pemimpin yang hadir dalam acara, tapi pemimpin yang berani mencabut pasal-pasal anti-rakyat dalam Omnibus Law. Bukan hanya pemimpin yang memuji kerja keras buruh, tapi yang menjamin upah minimum tidak lagi ditentukan oleh kalkulasi ekonomi semata, melainkan berdasarkan nilai hidup layak.
Gerakan Buruh: Antara Fragmentasi dan Kooptasi
Hari ini kita menghadapi kenyataan pahit: banyak serikat buruh besar kehilangan daya kritis dan militansi. Fragmentasi organisasi, penetrasi elit partai politik, serta ketergantungan pada hibah dan fasilitas negara, menjadikan sebagian gerakan buruh tercerabut dari semangat ideologisnya. Buruh bukan lagi subjek perubahan, tapi sering hanya objek seremonial.
Sebagai kader SEMMI, yang mewarisi semangat perlawanan Islam dari gerakan Syarikat Islam yang dulu memelopori kebangkitan ekonomi rakyat dan perlindungan buruh bumiputera, kami menyerukan perlunya reideologisasi gerakan buruh. Kita harus kembali membangun gerakan yang berbasis pada kesadaran kelas, solidaritas lintas sektor, dan perjuangan struktural melawan ketimpangan ekonomi.
Narasi Islam, Buruh, dan Keadilan Sosial
Dalam kerangka pemikiran Islam, kerja adalah bagian dari ibadah. Eksploitasi buruh adalah bentuk kezhaliman struktural yang harus dilawan. Negara berkewajiban menegakkan keadilan ekonomi sebagai perwujudan maqashid syariah—menjaga jiwa, akal, keturunan, harta, dan agama. Maka membiarkan buruh miskin, tidak terlindungi, dan terus terjebak dalam lingkaran outsourcing adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip Islam dan konstitusi.
SEMMI sebagai organisasi perjuangan mahasiswa Islam memandang bahwa perjuangan buruh bukan hanya persoalan ekonomi, tapi bagian dari perjuangan kebangsaan. Kita butuh pembaruan paradigma dalam melihat pembangunan—dari yang semata-mata berbasis pertumbuhan, menuju pembangunan berbasis keadilan dan keberpihakan terhadap yang lemah.
Penutup: Dari Warung Kopi ke Jalanan Sejarah
Hari Buruh bukanlah hari nostalgia, apalagi hari basa-basi. Ini adalah momentum untuk memupuk kesadaran kolektif bahwa tak ada keadilan yang datang dari langit kekuasaan. Keadilan hanya lahir dari keberanian rakyat untuk terus menuntut, menekan, dan jika perlu, melawan. Buruh harus bersatu, mahasiswa harus kembali ke garis perjuangan rakyat, dan negara harus kembali ke mandat konstitusionalnya: melindungi segenap bangsa Indonesia.
Saya, sebagai bagian dari generasi muda Islam yang mengemban amanah sejarah, mengajak seluruh buruh, mahasiswa, dan rakyat tertindas untuk menjadikan Hari Buruh 2025 bukan sekadar seremoni, tetapi batu loncatan menuju kebangkitan rakyat pekerja dalam mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat.
Fajrul Huda
Ketua Umum Koordinator Wilayah SEMMI Sumatera Barat