Masalah PDAM di Sungai Lansek: Seperti Gulai Cibodak Baangek an Tarui
Oleh: Muhamad Alfarozy
(Mahasiswa Program Studi Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar)
Persoalan air bersih di Nagari Sungai Lansek, Kabupaten Sijunjung, tak kunjung menemukan titik terang. Masalahnya terus berputar pada isu yang sama dari waktu ke waktu. Warga kesulitan mendapatkan pasokan air bersih di rumah mereka. Alasan yang disampaikan pun terus diulang—debit air mengecil akibat penebangan hutan di hulu sungai dan berbagai faktor lain yang belum pernah ditangani secara serius.
Selain alasan debit air yang mengecil, ada juga dugaan bahwa air PDAM tidak mengalir ke rumah warga karena pipa saluran pecah akibat aktivitas pengambilan kayu di sekitar wilayah hulu. Kerusakan ini diduga tidak segera diperbaiki, sehingga aliran air terganggu dalam jangka waktu yang cukup lama.
Ironisnya, muncul pula dugaan bahwa lambatnya respons PDAM dipicu oleh kebiasaan sebagian warga yang tidak membayar tagihan tepat waktu. Bahkan, ada laporan bahwa Direktur Utama PDAM Tirta Sanjung Buana memblokir salah satu nomor warga karena terlalu sering menghubungi. Jika benar, ini tentu mencederai prinsip pelayanan publik yang semestinya inklusif dan terbuka terhadap keluhan warga.
Perlu ditegaskan bahwa air bersih adalah hak dasar warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara. Ini bukan sekadar kebutuhan harian, melainkan bagian dari hak konstitusional sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain itu, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa air adalah sumber daya yang dikuasai oleh negara dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dukungan hukum lainnya dapat ditemukan dalam UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan air untuk kebutuhan pokok minimal guna menjalani kehidupan yang sehat dan bersih.
Pemerintah pusat maupun daerah juga memiliki tanggung jawab penuh dalam penyediaan air minum, sebagaimana diatur dalam PP No. 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Artinya, tidak ada alasan hukum bagi pemerintah daerah, termasuk PDAM, untuk abai terhadap persoalan ini.
Pemerintah Daerah Sijunjung sebagai pemilik PDAM, seharusnya hadir secara utuh dalam menyelesaikan masalah ini. Jika pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih saja tidak bisa diwujudkan, maka wajar jika publik mempertanyakan efektivitas kinerja pemerintahan daerah.
Di sisi lain, respons kolektif dari masyarakat juga belum cukup kuat. Minimnya laporan resmi sering dijadikan alasan oleh pihak pemerintah untuk tidak bertindak. Padahal, ketidakadaan laporan bukan berarti tidak ada masalah. Meskipun ada warga yang memilih jalur cepat atau “jalan pintas”, itu pun hanya menyelesaikan persoalan secara temporer, bukan jangka panjang.
Pendataan oleh kepala jorong terhadap warga yang terdampak perlu segera dilakukan. Ini penting sebagai dasar pengajuan aduan resmi dan bentuk tekanan politik kepada pemerintah daerah agar bertindak cepat dan tegas.
Jika ingin bicara tanggung jawab, maka Bupati sebagai pemegang kendali tertinggi atas PDAM layak dimintai pertanggungjawaban. Berdasarkan Permendagri No. 70 Tahun 2016 tentang Pedoman BUMD Air Minum, PDAM adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dibentuk dan dimiliki oleh pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan air minum kepada masyarakat.
Selain itu, dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pelayanan air minum dikategorikan sebagai urusan wajib layanan dasar yang menjadi tanggung jawab penuh pemerintah kabupaten/kota. Maka, tidak bisa dilepaskan bahwa kegagalan PDAM dalam menyediakan air bersih adalah juga kegagalan bupati dan pemerintah daerah dalam menjalankan mandat konstitusionalnya.
Masyarakat Sungai Lansek, sebagaimana masyarakat Sijunjung lainnya, telah berkontribusi dalam memenangkan bupati saat Pilkada 2024. Di Nagari Sungai Lansek sendiri, tercatat jumlah pemilih sebanyak 4.199 orang, dengan 2.399 orang menggunakan hak pilihnya. Dari jumlah tersebut, bupati memperoleh dukungan sebanyak 1.419 suara.
Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh pemilih yang menggunakan hak suaranya mendukung bupati terpilih. Dukungan politik tersebut semestinya dibalas dengan kesungguhan dalam menjalankan amanah pemerintahan, termasuk dalam hal menjamin kebutuhan dasar warga seperti air bersih.
Yang lebih menyedihkan, di tengah krisis ini, Dirut PDAM justru terlihat lebih sibuk membangun citra. Ia mengklaim telah berhasil menyalurkan air bersih ke beberapa titik, meskipun kenyataan di lapangan belum mencerminkan keberhasilan yang layak dibanggakan. Bahkan dalam salah satu pernyataannya, ia meminta masyarakat tetap membayar tepat waktu. Ini ironis—bagaimana masyarakat bisa membayar dengan patuh jika hak dasarnya tidak dipenuhi?
Pencitraan lebih diutamakan daripada kerja nyata. Situasi ini menjadi potret kegagalan manajemen pelayanan publik dan lemahnya kehadiran negara di tengah masyarakat.
Beberapa warga telah mengusulkan agar pengelolaan air dialihkan ke nagari melalui BUMNag. Ini bisa menjadi opsi, dengan syarat dilakukan melalui proses yang sistematis: pendataan warga terdampak, penyusunan surat pengaduan resmi ke bupati, dengan tembusan ke DPRD dan PDAM. Dialog publik perlu dibuka agar solusi jangka panjang dapat dirumuskan bersama.
Isu PDAM di Sungai Lansek ini sudah seperti “gulai cibodak yang baangek an tarui”—masalah lama yang terus dihangatkan, tapi tidak pernah benar-benar diselesaikan. Solusi tidak muncul, dan diskusi publik hanya berputar di kolom komentar media sosial.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah nagari, lembaga-lembaga lokal, dan seluruh unsur masyarakat bergotong royong secara serius. Kita membutuhkan langkah konkret, bukan sekadar retorika atau pencitraan. Jangan biarkan persoalan air bersih ini terus menjadi sandera politik. Sebab yang paling menderita bukanlah elit, tapi rakyat di rumah-rumah yang kerannya tak pernah mengalirkan kehidupan.
Saatnya masyarakat Sungai Lansek bersatu. Dorong pemerintah nagari untuk segera melakukan pendataan warga terdampak, bentuk tim kecil yang mewakili jorong-jorong, dan ajukan pengaduan resmi ke Bupati serta DPRD Kabupaten Sijunjung. Libatkan tokoh masyarakat, mahasiswa, dan organisasi lokal untuk mengawal proses ini secara terbuka. Jika perlu, buka forum warga atau diskusi publik agar suara kita terdengar lebih keras dan lebih jelas.
Air bersih adalah hak, bukan hadiah. Kita tidak sedang meminta-minta, tapi menuntut apa yang memang menjadi kewajiban negara.