Bukittinggi, Banuaminang.co.id — Seperti pemberitaan sebelumnya, mengenai nikah siri menurut pandangan agama Islam. Banuaminang.co.id hari ini (Rabu, 1/5/24) menghubungi ketua MUI kota Bukittinggi yaitunya ustad Dr. H. Aidil Alfin, M. Ag.
Berikut penjelasan dari ketua MUI Kota Bukittinggi:
Terkait nikah siri masih ada dualisme keyakinan dari masyarakat yang dipahami yaitunya ;
1. Ada sebagian masyarakat yang memang mereka ketika melakukan nikah siri, berpatokan pada fiqih syariah saja, mereka tidak melihat hukum negara.
2. Ada yang melihatnya dari aspek hukum Islam yang sudah dikodifikasi oleh negara. Yaitunya, memang dia hukum Islam, tapi telah diakui oleh negara.
Kalau dari segi hukum negara, dalam undang-undang perkawinan, dimana undang-undang perkawinan tersebut mengaku kepada hukum Islam.
Bahwa nikah siri tanpa wali, memang tidak sah hukumnya. Artinya nikah siri dalam undang-undang perkawinan Indonesia tidak diakui sebagai sebuah perkawinan.
Dalam kompilasi hukum Islam, yang menjadi panduan oleh pengadilan agama, kalau seorang perempuan tanpa wali, maka nikahnya tidak sah. Kalau nikahnya tidak sah, maka konsekuensi segala sesuatunya menjadi tidak sah.
Maksudnya apabila dia hamil dan memiliki anak, maka anaknya tidak memiliki hubungan nasab kepada ayahnya. Itu konsep dalam Islam.
Kalau anak tersebut perempuan, bapaknya tidak bisa menjadi wali nikahnya. Karena dianggap anak zina dalam kompilasi hukum Islam.
Tapi kalau dari aspek fiqih semata-mata, ada yang mengesampingkan kompilasi hukum Islam, tentang tata perkawinan di Indonesia, yang dipakai hanya fiqih saja.
Jadi…kalau menurut fiqih, dia hanya melihat sah atau tidak sahnya perkawinan. Hanya melihat dan apakah terpenuhi rukun dan syarat. Kalau sudah terpenuhi rukun dan syarat… Itu sudah… Pencatatan ke negara oleh KUA bukanlah sesuatu rukun. Masih ada masyarakat yang berpendapat begitu.
Permasalahan yang paling mendasar dan ini yang menyebabkan permasalahan pernikahan siri, yaitunya dari aspek wali nikah.
Karena wali yang menikahkan tersebut adalah bukan wali yang berhak untuk menikahkan.
Itu yang menjadi permasalahan selama ini. Kadang-kadang wali tersebut dilakukan oleh penghulu yang melayani pernikahan-pernikahan seperti itu.
Dan setiap penghulu mempunyai alasan masing-masing, ketika mereka menikahkan orang tersebut.
Saya pernah mewawancarai salah seorang yang menikahkan perkawinan tersebut, disalah satu tempat di Sumbar. Saya tanyakan “Tidak takut kah Bapak berdosa, menikahkan orang tanpa wali, karena mereka akan melakukan zina?”
Mereka menjawab sederhana saja… “Ambo takuik badoso Pulo nyoh pak ustadz, ambo Iyo pingin masuak sarugo Pulo, ambo cuma manolong urang..!!”
Saat ditanya “Ndak tau apak, bahaso waliko indak buliah diambiak-ambiak Sorang se doh..?”
Nah… Disinilah permasalahannya….
Mereka menjawab
Kami tidak mau jadi wali tanpa dua syarat, yaitu ;
1. Ada surat penunjukan wali yang dibawa kepada saya, ditandatangani oleh ayah atau wali lainnya yang berhak.
2. Ada menelpon ayah atau orang yang berhak menjadi wali dari perempuan kepada saya. (Untuk diwakilkan/red).
Saya tanya kembali “Apobilo Ado nan manalepon atau mambuek surek, dan seandainya surek atau urang yang manelpon itu palsu (bukan walinikah yang berhak menurut agama/red).?”
Mereka menjawab “ambo lah mangecek’an ka pihak, kalau seandainya kalian baduto, itu tanggung jawab kalian. Ambo indak batangguang jawab doh…”
Itulah yang terjadi selama ini, mungkin tujuannya sosial, dan tidak tertutup kemungkinan adanya aspek bisnis financial.
Kalau memang terpenuhi rukun dan syarat bahwa cukup para pihak ada ada saksi, ada ijab kabul dan wali sah ada. Cukup hal ini saja.
Tapi permasalahannya…adalah wali tadi bukan yang sah. Tapi seandainya wali itu adalah wali yang sah, maka perkawinan itu sah menurut agama, walaupun tidak sah menurut negara atau tidak tercatat didalam hukum negara.
Terkait yang viral sekarang
Kalau memang dia menikah siri dibulan November 2023 dan surat akta cerai dengan suami yang sebelumnya di bulan Desember 2023. Dan yang menikahkan bukan wali yang sah, maka ;
1. Nikahnya tidak sah, karena wali yang menikahkan bukanlah wali yang sah.
2. Dia menikah dalam keadaan masih punya suami.
Dua permasalahan yang dilanggarnya.
Terkait dugaan poliandri
Dalam agama yang ada hanya poligami, bukan poliandri. Padusi indak buliah manikah labiah dari surang. Itu ada ketentuan dalam agama. Dosa dalam agama.
Tidak sah pernikahan kedua itu dalam agama. Kalau tidak sah namanya fasakh (fasakh demi hukum).
Dalam agama perempuan yang menikah dalam keadaan memiliki suami, maka pernikahan tersebut adalah fasakh artinya batal demi hukum.
Kalau perkawinannya tidak sah, maka otomatis anaknya adalah anak zina.
Terkait wali adhol
Kalau ayah menolak, maka disebut wali adhol. Yaitu apabila wali yang sah menolak dan enggan menikahkan, sehingga nantinya hakim yang akan menggantikan.
Jika seandainya wali sah enggan dikarenakan menikah dengan yang haram dinikahi, hakim pun tidak akan berani menjadi wali nikahnya.
Harapan dari ketua MUI kota Bukittinggi
Diharapkan kepada masyarakat untuk melangsungkan pernikahannya sesuai dengan hukum agama dan juga memenuhi hukum negara. Sah menurut agama dan tercatat di negara.
Demikianlah penjelasan dari ketua MUI kota Bukittinggi kepada Banuaminang.co.id hari ini Rabu, 1 Mei 2024.
(iing chaiang)
Referensi berita sebelumnya :