Ketika PSI Memeluk Anak PKS: Strategi Cerdas atau Bunuh Diri Politik?

Ketika PSI Memeluk Anak PKS: Strategi Cerdas atau Bunuh Diri Politik?

 

Oleh: Muhamad Alfarozy

Mahasiswa Program Studi Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batisangkar

 

Langkah politik Taufiqur Rahman, putra Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah, yang menerima penunjukan sebagai Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sumatera Barat pada 15 Oktober 2025 lalu, sontak menjadi sorotan tajam di tengah publik Sumbar. Pengumuman yang dilakukan dalam forum konsolidasi PSI di Jakarta itu tidak hanya menciptakan kegaduhan lokal, tetapi juga memunculkan banyak spekulasi terkait arah dan motif politik yang melatarbelakanginya.

 

Sebagian pihak melihat ini sebagai manuver pribadi seorang figur muda yang tengah mencari jalan baru pasca kegagalan dalam Pileg 2024 lalu. Namun tidak sedikit pula yang membaca langkah ini sebagai bagian dari strategi besar PSI—sebuah partai yang kini sedang berupaya memperluas basis dukungan di daerah-daerah yang selama ini tidak bersahabat dengan ideologi mereka.

 

Fenomena ini juga memperkuat istilah yang kini mulai ramai diperbincangkan publik: “migrasi politik.” PSI tampaknya sedang memanfaatkan momentum pasca-pemilu dengan merekrut tokoh-tokoh dari berbagai partai lain. Beberapa nama besar yang sudah bergabung antara lain Ahmad Sahroni, Ahmad Ali, dan Bestari Barus, yang sebelumnya berasal dari Partai NasDem. Bahkan disebut-sebut mereka tidak hanya bergabung, tapi juga mendapatkan posisi penting dalam struktur DPP PSI.

 

Masuknya Taufiqur Rahman ke dalam barisan PSI jelas memiliki dimensi yang lebih kompleks. Pertama, karena ia merupakan anak dari seorang kepala daerah aktif yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang memiliki basis massa kuat di Sumatera Barat. Kedua, karena secara ideologis, PKS dan PSI ibarat berada di kutub berseberangan. Ketiga, karena kehadiran PSI di Sumbar selama ini tidak terlalu signifikan secara elektoral maupun kultural.

 

Pada Pemilu 2024 lalu, misalnya, PSI hanya memperoleh 9.477 suara di Dapil Sumbar I dan 5.908 suara di Dapil Sumbar II. Jika digabung, totalnya tidak sampai 16 ribu suara. Bandingkan dengan PDIP yang meraih 169.883 suara di Dapil I dan 75.524 suara di Dapil II, atau PKS yang menjadi pemenang mutlak dengan 193.210 suara di Dapil I dan 188.669 suara di Dapil II. Artinya, PSI tertinggal sangat jauh—baik dari sisi elektabilitas maupun penerimaan publik.

 

Namun hal ini tidak menyurutkan semangat elite PSI. Bahkan Dedy Bachtiar, salah satu tokoh DPP PSI, menyatakan bahwa masuknya Taufiqur Rahman diharapkan bisa membantu PSI melampaui suara PDI Perjuangan di Sumbar. Ini adalah pernyataan yang ambisius, bahkan jika tidak ingin disebut terlalu optimistis. Karena selisih suara antara PSI dan PDIP di Sumbar mencapai lebih dari 230 ribu suara. Butuh kerja politik luar biasa, perubahan pendekatan, dan konsolidasi yang sangat serius untuk mengejar selisih sebesar itu.

 

Dari sisi komunikasi politik, pernyataan Dedy Bachtiar bisa dimaknai sebagai upaya membangun citra bahwa PSI kini mulai serius menancapkan pengaruhnya di daerah-daerah yang selama ini dianggap tidak ramah. Taufiqur sebagai figur muda, anak gubernur, dan mantan caleg, dianggap bisa menjadi jembatan antara PSI dan pemilih muda atau pemilih mengambang yang belum punya afiliasi ideologis kuat.

 

Namun bukan tanpa risiko. Respons publik terhadap langkah Taufiqur justru cenderung negatif. Di media sosial dan forum diskusi lokal, banyak warga menyayangkan langkah politik tersebut. PSI, dalam persepsi publik Sumbar, bukan hanya partai baru, tetapi juga memiliki asosiasi kuat dengan Presiden Joko Widodo—figur yang dua kali kalah telak dalam Pilpres di Sumatera Barat.

 

Sebagian masyarakat bahkan menganggap langkah ini sebagai “pengkhianatan simbolik” terhadap nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan PKS, dan oleh karena itu turut mempertanyakan integritas politik sang ayah, Mahyeldi. Isu ini dengan cepat berubah menjadi perdebatan soal moralitas politik keluarga, loyalitas ideologis, dan pertarungan citra. Tak sedikit yang menyebut ini sebagai langkah “bunuh diri politik” di tengah kultur pemilih Minangkabau yang terkenal konservatif dan ideologis.

 

Meski begitu, langkah ini juga bisa dibaca sebagai upaya investasi politik jangka panjang. Dalam jangka pendek, PSI mungkin tidak berharap terlalu banyak dari segi perolehan suara. Namun dengan figur seperti Taufiqur yang punya akses ke jaringan kekuasaan lokal, mereka bisa membangun fondasi struktur politik yang lebih kuat di akar rumput. PSI sendiri menargetkan bisa memiliki keterwakilan di 19 kabupaten/kota di Sumbar pada pemilu berikutnya—meski hanya satu kursi pun di daerah terpencil seperti Mentawai tetap dianggap sebagai pencapaian.

 

Kita harus akui bahwa hak politik adalah milik setiap warga negara. Taufiqur Rahman sepenuhnya berhak memilih dan dipilih, termasuk memilih partai yang sesuai dengan visinya sendiri. Namun dalam politik, setiap pilihan punya konsekuensi. Terlebih di daerah seperti Sumatera Barat, di mana persepsi kolektif dan loyalitas ideologis masih menjadi pilar utama dalam menentukan pilihan politik.

 

Pertanyaannya kini bukan hanya mengapa Taufiqur memilih PSI, tetapi apakah pilihan ini akan berdampak positif terhadap upaya PSI menembus basis konservatif Sumbar, atau justru menjadi blunder politik yang akan menggerus kepercayaan publik terhadap dirinya, bahkan keluarganya. Waktu, konsolidasi politik, dan dinamika pemilih di 2029 akan menjawab semuanya.