Ketika Pesta Menjadi Derita, Narasi Luka dari Sebuah Pernikahan Elite
Pagi itu, langit Sumatera Barat sedikit redup. Jalan Lintas Sumatera yang biasanya ramai lancar berubah menjadi lautan kendaraan yang menguap kepanasan. Di sepanjang jalan, suara klakson dan keluhan penumpang bergema seperti konser cacian yang tak diundang. Sementara itu, beberapa meter dari titik kemacetan, tenda-tenda megah berdiri gagah di tepi jalan. Di balik tirai mewah itu, musik pesta bergema, tawa para undangan bersahutan, dan pelaminan dipenuhi senyum keluarga besar seorang gubernur.
Di saat rakyat tertahan berjam-jam dalam kendaraan dimana sebagian menuju rumah sakit, sebagian lainnya menuju ladang, sekolah, atau bahkan pengajian, pesta pernikahan anak Gubernur Sumatera Barat berlangsung dengan gegap gempita. Bukan di istana negara, bukan di tempat tertutup, tapi di jalur utama yang seharusnya menjadi hak publik untuk dilintasi.
Hari itu bukan hari bahagia bagi semua. Bagi sebagian rakyat, itu hari yang menjengkelkan. Bahkan mungkin hari yang membuat mereka kehilangan kepercayaan terhadap para pemimpin yang selama ini dielu-elukan sebagai “anak kemenakan”.
Dua bulan kemudian, di sudut pulau yang lain, tepatnya di Garut, euforia sebuah perayaan kembali menciptakan luka. Kali ini bukan karena kemacetan, tapi karena nyawa. Tiga orang meregang nyawa dalam pesta syukuran pernikahan anak Dedi Mulyadi, yang akrab dipanggil KDM. Di tengah hiruk pikuk panggung hiburan, ribuan warga berdesakan tanpa pengaturan, tanpa batas, tanpa perhitungan. Bocah kecil, seorang ibu lansia, dan bahkan seorang petugas keamanan meregang nyawa di tengah lautan manusia yang tumpah ruah dalam acara yang katanya, untuk “rakyat”.
Dan rakyat pun bertanya dalam diam, “Mengapa pernikahan elite menjadi bencana bagi kami?”
Kisah dua pesta ini bukan sekadar soal pernikahan. Ini adalah potret telanjang dari sebuah relasi kuasa yang semakin timpang antara mereka yang duduk di tampuk kekuasaan dan mereka yang hidup di balik pagar rumah-rumah sederhana. Pernikahan, yang mestinya sakral dan privat, telah menjadi panggung pertunjukan kekuasaan. Elite politik meminjam momentum pernikahan anak-anak mereka untuk memamerkan pengaruh, menarik dukungan simbolik, bahkan sesekali menyelipkan ambisi dinasti.
Namun mereka lupa, kekuasaan bukan hanya soal simbol dan pesta. Kekuasaan adalah soal tanggung jawab, soal rasa. Dan ketika rakyat dibiarkan terjebak dalam kemacetan panjang, atau lebih buruk lagi, kehilangan nyawa dalam kerumunan tak terkelola, maka pesta itu bukan lagi tanda kebahagiaan. Ia menjadi monumen pengabaian. Simbol keterputusan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Kita sedang hidup dalam negara demokratis, setidaknya secara konstitusi. Dalam negara yang menjunjung keadilan sosial dan kesetaraan hak warga negara. Maka sangat mengherankan ketika pejabat publik, yang seharusnya menjadi teladan dalam menjaga hak bersama, justru menggunakan ruang publik untuk kepentingan privat. Menggelar pernikahan di tepi jalur utama transportasi nasional tanpa perencanaan lalu lintas yang matang, adalah bentuk abai terhadap hak dasar masyarakat. Membiarkan kerumunan dalam jumlah besar tanpa mitigasi keselamatan adalah bentuk kelalaian yang mematikan.
Ironisnya, ketika kritik mulai bermunculan, yang muncul justru klarifikasi defensif: “Kami tidak menutup jalan,” kata pihak Pemprov Sumbar. Atau di Garut: “Ini hiburan untuk rakyat.” Klaim-klaim ini terdengar klise, jauh dari akuntabilitas. Bukankah lebih jujur bila mereka berkata: “Kami khilaf. Kami salah menempatkan kemegahan di atas keselamatan. Maafkan kami.”
Tapi itu tidak pernah terjadi
Ada kegelisahan yang lebih dalam di balik dua peristiwa ini. Yaitu ketika negara yang seharusnya menjaga ruang publik tunduk pada hasrat privat segelintir elite. Kita menyaksikan bagaimana jalanan milik bersama bisa dibekukan sekejap untuk kepentingan pesta keluarga pejabat. Kita juga melihat bagaimana kerumunan besar dibiarkan tanpa perlindungan memadai, hanya demi mempertontonkan “kedekatan” dengan rakyat.
Ini bukan sekadar soal kurangnya SOP atau protokol. Ini adalah masalah ideologis. Bahwa sebagian elite kita masih belum benar-benar memahami makna kekuasaan sebagai amanah, bukan sebagai panggung selebrasi. Mereka masih terjebak dalam paradigma lama: bahwa negara ini adalah warisan mereka, dan rakyat cukup menjadi penonton dalam layar besar yang mereka kendalikan.
Padahal, jika kita renungkan kembali semangat para pendiri bangsa, kekuasaan itu tidak untuk ditumpuk dalam pesta-pesta mewah, tetapi untuk dibagi dalam pelayanan yang tulus. Seorang pemimpin, kata Bung Hatta, harus bersedia hidup sederhana agar tidak menyakiti perasaan rakyat yang dipimpinnya. Tapi kini, apakah para pemimpin kita masih mendengar suara nurani itu?
Tragedi Garut yang merenggut nyawa, dan perayaan Sumbar yang merampas hak jalan warga, seharusnya menjadi momentum refleksi. Bahwa tidak ada alasan apa pun yang membenarkan penyelenggaraan acara pribadi yang berdampak negatif pada masyarakat luas. Tidak ada “tradisi” atau “kultur lokal” yang bisa menjadi tameng pembenar atas pengabaian.
Rakyat Indonesia sudah terlalu sering diminta “memaklumi” perilaku elite. Diminta bersabar ketika jalan ditutup karena tamu pejabat lewat. Diminta mengerti ketika anggaran negara dihabiskan untuk seremoni-seremoni yang tak menyentuh kebutuhan dasar. Diminta diam ketika suara kritik dibalas dengan senyum penuh kuasa.
Tapi hari ini, di tengah dua peristiwa itu, suara-suara mulai bangkit. Suara rakyat yang bertanya: sampai kapan ruang publik kita bisa dijual demi kemegahan pribadi? Sampai kapan pejabat mengatasnamakan “untuk rakyat” padahal yang terjadi justru rakyat menjadi korban?
Di akhir tulisan ini, saya tidak sedang meminta pejabat berhenti menggelar pernikahan. Itu hak keluarga. Yang saya desak adalah kesadaran bahwa status publik membawa tanggung jawab moral yang jauh lebih besar. Bahwa setiap keputusan dan bahkan saat menentukan lokasi pesta harus dilandasi empati dan logika publik.
Jika pesta elite menimbulkan luka bagi rakyat, maka itu bukan pesta yang layak dikenang. Itu adalah sejarah kecil dari abainya kepemimpinan. Sejarah yang akan ditulis oleh mereka yang terlambat sampai rumah sakit, yang kehilangan anak karena sesak napas di kerumunan, yang hanya bisa melihat panggung dari kejauhan sambil menahan perih di dada.
Dan bila tak ada perubahan, kita harus berani menyebut ini sebagai bagian dari kejahatan struktural, kekuasaan yang digunakan bukan untuk melindungi rakyat, tapi untuk merayakan diri sendiri di atas penderitaan orang lain.
Entahlah..
Wallahu’alam.
Penulis: Ardinal Bandaro Putiah
Pondok Syarikat, 18 Juli 2025