Oleh: Nofri Madola, SH. MH.
Pengurus Wilayah Pemuda Muslimin Indonesia Sumatera Barat
Sumatera Barat, 29 April 2025. Dalam kondisi cuaca yang tidak begitu cerah, saya lihat langit di ufuk Barat berwarna kehitaman menandakan dalam waktu yang tidak begitu lama hujan akan turun. Seketika saya rehat dari aktivitas yang saya geluti di lahan perkebunan hari ini dan mengambil telepon genggam dari tas kecil yang selalu saya bawa kemana pergi. Dari halaman depan pencarian di google croom saya temukan berita yang menarik perhatian saya yang dirilis oleh KOMPAS.com pada tanggal 29 April 2025 jam 16.30 dengan Hotline “Hidup Sederhana, Kekayaan Paus Fransiskus Saat Wafat Setara 2,2 Juta Rupiah”.
Dalam dunia yang makin materialistik, di mana kekuasaan sering dikaitkan dengan kekayaan dan kemewahan, kisah hidup seorang Paus Vatikan menjadi napas segar dan pelajaran moral yang sangat berharga. Bayangkan, seorang pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, dengan akses yang begitu luas terhadap berbagai fasilitas, justru wafat dalam keadaan nyaris tanpa harta pribadi. Disebutkan bahwa ketika beliau meninggal, hartanya hanya senilai sekitar 2,2 juta rupiah. Ia tidak memiliki properti, tidak ada simpanan rekening bernilai fantastis, dan bahkan menolak gaji tahunan senilai 5,9 miliar rupiah yang semestinya menjadi haknya sebagai kepala negara sekaligus pemimpin agama.
Fakta ini tentu menggugah nurani siapa pun yang masih percaya pada nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan pengabdian. Terlepas dari perbedaan agama dan keyakinan, sosok Paus ini memperlihatkan bahwa menjadi pemimpin tidak harus identik dengan kemewahan. Kepemimpinan bukanlah tentang fasilitas dan kehormatan yang ditumpuk, melainkan tentang tanggung jawab yang dijalankan dengan tulus. Dalam dirinya, kita melihat contoh nyata bahwa kekuasaan bisa dijalani tanpa kerakusan, bahwa jabatan tinggi tidak harus menjauhkan seseorang dari nilai-nilai kemanusiaan.
Di banyak tempat, jabatan sering kali justru menjadi jalan pintas untuk memperkaya diri. Kita melihat bagaimana kekuasaan disalahgunakan, bagaimana amanah berubah menjadi ajang transaksi dan korupsi. Dalam konteks ini, warisan moral dari Paus tersebut menjadi tamparan bagi para pemimpin yang lupa akan esensi kepemimpinan sejati. Ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin justru harus menjadi yang paling sederhana di antara rakyatnya, yang paling sedikit mengambil, dan yang paling banyak memberi.
Lebih dari itu, sikap hidup beliau juga mengajarkan tentang pentingnya membatasi diri di tengah godaan. Dengan gaji sebesar itu, tentu sangat mudah baginya untuk hidup mewah. Tapi ia memilih jalan yang berbeda—hidup sederhana, tinggal di rumah tamu Vatikan, menolak kemewahan yang melekat pada jabatannya, dan lebih memilih berjalan kaki atau menggunakan kendaraan biasa. Semua ini bukan semata-mata gaya hidup, tapi bentuk nyata dari nilai-nilai spiritual yang ia yakini dan jalankan.
Ketika kita bicara soal perubahan dunia, kita sering lupa bahwa perubahan besar kerap dimulai dari teladan kecil. Dunia tidak selalu butuh pidato besar atau janji-janji manis—kadang, ia hanya butuh satu orang yang benar-benar hidup sesuai dengan apa yang ia ajarkan. Dan Paus telah melakukannya. Ia mengajarkan bahwa kekuasaan bukanlah tentang menguasai, tapi tentang melayani.
Membaca kisah Paus Fransiskus ini mengingatkan saya kepada kisah salah satu tokoh Islam Ayatollah Khoimani seorang pemimpin revolusi Islam Iran yang sangat kharismatik. Di Iran, Ayatollah Khomeini, pemimpin revolusi Islam (1979) yang menggulingkan rezim Shah Iran, juga hidup dalam keteladanan yang sama. Setelah menjadi pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, ia tetap tinggal di rumah sederhana berdinding bata, berkarpet biasa, dan tanpa kemewahan negara. Ia tidak pernah menjadikan revolusi sebagai alat memperkaya diri. Ia hidup dengan prinsip, dan bahkan menjelang akhir hayatnya, menolak pembangunan makam megah. Sebaliknya, ia meminta agar dikuburkan di tempat sederhana, dekat rakyat yang ia cintai.
Sementaranya di Indonesia sendiri di masa lampau kita juga punya tokoh Islam yang punya teladan yang sama salah satunya adalah seorang tokoh yang berasah dari Sumatera Barat Mohammad Natsir. Mohammad Natsir mantan Perdana Menteri Republik Indonesia, tokoh Masyumi, dan ulama pemikir dunia Islam dikenal sebagai pribadi bersahaja. Setelah tidak lagi menjabat, ia hidup dalam kesederhanaan, tinggal di rumah kecil di Jalan Jawa, Jakarta, dan menolak segala bentuk fasilitas berlebih dari negara. Padahal ia bisa saja menikmati hidup nyaman dengan statusnya sebagai negarawan. Tapi Natsir menolak hidup mewah. Ia lebih memilih membuka ruang dialog dan berdakwah melalui tulisan, dan wafat dalam keadaan tidak kaya secara materi, namun sangat “kaya” secara moral.
Ketiga tokoh ini—Paus Fransiskus, Ayatollah Khomeini dan Natsir, mewakili latar agama dan bangsa yang berbeda, namun memiliki benang merah yang sama, bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan jalan menuju kemewahan. Mereka menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan moral yang sangat dalam. Di tengah dunia yang haus akan kepemimpinan sejati, teladan mereka menjadi cahaya harapan.
Ditengah suguhan kesembrautan moral kepemimpinan hari ini, kisah ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi para pemimpin di mana pun mereka berada, baik pemimpin agama, politik, maupun sosial. Terlebih-lebih bagi para pemimpin di Negara kita Indonesia dewasa ini. Perlukita pertanyakan, Apakah kita menjabat untuk mengambil sebanyak-banyaknya? Atau untuk memberi sebaik-baiknya? Dunia hari ini sedang kekurangan sosok-sosok yang menjabat dengan hati, bukan dengan nafsu. Dan dalam ketenangan hidup Paus Vatikan, Ayatollah Khomaini dan Natsir, kita diberi gambaran tentang apa artinya menjadi pemimpin sejati.
Fattaqullaha Mastatha’tum
Billahi fii Sabilil Haq.