IDUL ADHA DAN KEBANGKITAN GERAKAN MAHASISWA

Oleh: Fajrul Huda Nasution
Ketua Umum Korwil SEMMI Sumatera Barat

Menyambut Idul Adha: Antara Ritual dan Revolusi Makna

Di tengah lantunan takbir yang menggema dari surau-surau nagari hingga masjid besar kota, umat Islam kembali dihadapkan pada peristiwa agung, Idul Adha. Lebaran besar ini bukan semata ritual penyembelihan hewan kurban, melainkan simbol paling kuat dari makna pengorbanan, ketaatan, dan kesanggupan menundukkan ego demi amanah ilahiyah.

Sayangnya, dalam dunia yang kian modern dan sekuler, banyak dari kita memaknai Idul Adha hanya sebagai tradisi tahunan. Ritual disulap menjadi seremoni, makna digantikan formalitas. Padahal, di balik perintah penyembelihan itu, terdapat semangat revolusioner yang sangat relevan untuk gerakan mahasiswa hari ini.

Ketika Ibrahim AS diuji dengan perintah menyembelih putranya Ismail, ia tak sekadar diuji akalnya, tapi juga jiwanya. Ia harus memilih antara cinta keluarga dan perintah Tuhan. Sebuah pilihan yang berat, namun ia lewati dengan lulus. Inilah esensi gerakan: menguji keberpihakan, menuntut pengorbanan, dan meminta ketaatan pada nilai, bukan kenyamanan.

Mahasiswa, Warisan dari Spirit Pengorbanan

Gerakan mahasiswa bukanlah sesuatu yang lahir dari ruang kosong. Ia muncul dari dialektika sejarah, dari denyut penderitaan rakyat, dan dari semangat menolak penindasan. Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa mahasiswa telah berkali-kali menjadi motor perubahan. Tahun 1928, 1966, 1974, 1998 hingga berbagai demonstrasi kontemporer semuanya menjadi saksi bahwa mahasiswa adalah unsur strategis dalam proses transformasi sosial.

Namun, kita juga harus berani mengakui satu hal penting, gerakan mahasiswa hari ini sedang berada di titik kritis. Ia menghadapi tantangan ideologis, pragmatisme, fragmentasi internal, serta tekanan sistemik dari rezim birokratis kampus dan negara. Ruang-ruang diskusi disterilkan, organisasi mahasiswa dikekang, dan narasi perjuangan dimatikan dengan janji-janji kerja dan masa depan pribadi.

Di sinilah relevansi Idul Adha muncul, apakah kita, sebagai mahasiswa Muslim, masih mampu mengorbankan ego dan kenyamanan, demi kembali menyalakan api perjuangan?

SEMMI dan Spirit Sarekat Islam Indonesia, Menyambung Api Perjuangan Umat

Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) tidak bisa dipisahkan dari akar historis Sarekat Islam adalah organisasi rakyat pertama yang menolak dominasi kolonialisme dan berani mengangkat Islam sebagai dasar perlawanan dan pembebasan. SEMMI adalah front intelektual muda dari Syarikat Islam Indonesia, yang memikul tanggung jawab untuk menjadi penjaga warisan ideologis, bukan sekadar pelengkap struktural.

Di Sumatera Barat, SEMMI hadir untuk menghidupkan kembali prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Prinsip ini bukan hanya slogan budaya, tetapi adalah dasar sistem sosial-politik Islam yang menyatukan iman, adat, dan perjuangan. Namun kenyataannya, hari ini nagari-nagari di Minangkabau justru terjebak dalam sistem pemerintahan lokal yang dipisahkan dari ruh spiritual dan ideologisnya. Pemerintah nagari hanya menjadi perpanjangan tangan proyek-proyek pusat, bukan ruang pembebasan rakyat.

Kami di SEMMI Sumbar memandang bahwa kebangkitan mahasiswa Minangkabau harus dimulai dari membangkitkan peran anak muda dalam sistem pemerintahan nagari yang tidak menyentuh substansi dari semangat ber nagari yang sesungguhnya yang pernah hidup di ranah ini sebelumnya. .

Idul Adha sebagai Pangkal Kesadaran Ideologis

Apa makna pengorbanan dalam dunia mahasiswa hari ini?

Apakah cukup dengan ikut aksi? Menulis opini? Atau sekadar bersuara di media sosial? Idul Adha justru menuntut kita melangkah lebih jauh. Kita diminta untuk mengorbankan ketakutan, kenyamanan, dan individualisme, demi menyatu dengan umat yang tertindas.

Dalam peristiwa kurban, Ibrahim adalah tokoh perubahan; ia rela meninggalkan zona amannya. Ismail adalah generasi muda yang siap menjadi bagian dari pengorbanan besar. Maka dalam konteks hari ini, Ibrahim adalah ideologi, dan Ismail adalah kita—generasi muda Muslim yang harus siap dipanggil untuk berjuang.

Apa makna kurban jika kita menolak dipanggil untuk menyuarakan keadilan? Apa gunanya Idul Adha jika kita abai pada nasib rakyat yang diinjak kekuasaan?

Idul Adha harus menjadi ruang kontemplatif dan strategis. Kita harus menumbuhkan kembali militansi ideologis gerakan mahasiswa. Kita harus menyusun ulang ulang strategi kaderisasi, membangun basis massa, dan menanamkan nilai perjuangan yang tak hanya temporer, tapi berkelanjutan dan terstruktur.

Strategi Kebangkitan: Dari Ritual ke Gerakan

Sebagai Ketua Korwil SEMMI Sumbar, saya memandang ada lima langkah konkret yang bisa kita bangun dari spirit Idul Adha:

1. Reideologisasi Gerakan Mahasiswa Muslim

Kita harus menyegarkan kembali dasar ideologi gerakan mahasiswa Muslim. Islam bukan hanya inspirasi moral, tapi fondasi aksi. Tauhid bukan sekadar doktrin teologis, melainkan pemisah tegas antara penghambaan kepada Allah dan pembangkangan terhadap tirani.

2. Konsolidasi Basis di Nagari dan Kampus

Mahasiswa harus kembali ke rakyat. Kita harus menyatu dengan denyut penderitaan petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh informal. Ini bisa dimulai dengan membangun posko advokasi, klinik ideologis, serta forum diskusi terbuka di nagari dan kampus.

3. Pendidikan Kader yang Militans dan Sistematis

SEMMI harus melahirkan instruktur ideologis, bukan hanya panitia kegiatan. Kurikulum pengkaderan harus menyentuh isu-isu strategis umat, memahami sejarah pergerakan Islam, dan membentuk kemampuan retoris, advokatif, serta organisatoris kader.

4. Aliansi Gerakan Lintas Sektor

Gerakan mahasiswa tidak bisa eksklusif. Kita harus membangun aliansi dengan komunitas adat, ormas Islam, kelompok tani, serikat buruh, dan LSM pro-rakyat. Ini adalah strategi kebangkitan dari bawah, bukan hanya bergantung pada kekuasaan politik nasional.

5. Pemanfaatan Media Ideologis

Media sosial, YouTube, TikTok, buletin, dan zine harus menjadi ruang penyebaran gagasan ideologis. Idul Adha adalah momentum kampanye gagasan. Mahasiswa harus aktif menjadi produsen narasi, bukan sekadar konsumen informasi.

6. Kembali ke Nilai-Nilai Perjuangan

Kita perlu kembali mengingat: bangsa ini dibangun oleh darah dan keringat orang-orang yang berani berkorban. HOS Cokroaminoto tak hanya berpidato di podium; ia mendidik kader di rumahnya, menghidupi gerakan dengan hartanya, dan mendidik tokoh-tokoh besar dari Sarekat Islam, termasuk Sukarno, Kartosoewiryo, dan Semaoen.

Kalau mereka sanggup berjuang dalam zaman penjajahan yang brutal, mengapa kita hari ini justru kehilangan nyali di zaman digital?

Ingat, pengorbanan tidak selalu dalam bentuk darah dan nyawa. Ia bisa berbentuk waktu, pikiran, relasi sosial, atau peluang ekonomi. Kita hanya perlu bertanya pada diri sendiri: sudah sejauh mana saya mengorbankan diri untuk kemajuan umat ini?

Menyambut Panggilan Sejarah

Idul Adha adalah panggilan spiritual yang sangat politis. Ia mengingatkan kita bahwa semua perubahan besar lahir dari pengorbanan. Seperti Ibrahim yang diuji oleh Tuhannya, seperti Ismail yang menyerahkan dirinya demi kebenaran — maka kita hari ini diuji oleh sejarah:
Apakah kita akan tetap bersembunyi di balik kenyamanan pribadi, atau keluar menjadi pelaku perubahan yang berani?

Mahasiswa bukan sekadar agen perubahan, ia adalah mata tombak umat. Dalam tubuh mahasiswa Muslim melekat dua tanggung jawab besar: sebagai intelektual pencari kebenaran, dan sebagai hamba yang taat pada kebenaran itu sendiri. Maka perjuangan kita bukan sekadar politik kekuasaan, tapi jihad membebaskan manusia dari penghambaan sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah.

Gerakan mahasiswa Muslim tak boleh menjadi gerakan latah. Ia harus dibangun dengan kesadaran spiritual, kekuatan ideologis, dan keberpihakan yang jelas. Maka Idul Adha tahun ini bukan hanya tentang menyembelih kambing atau sapi, tapi tentang menyembelih kepengecutan, menumpas kemunafikan, dan menegakkan keberanian untuk bangkit.

Kita adalah generasi yang dipanggil untuk mewarisi semangat Ibrahim dan Ismail. Kita adalah generasi yang tak cukup hanya mengingat sejarah, tapi harus menjadi bagian darinya.

Mari jadikan Idul Adha sebagai tonggak kebangkitan baru bagi gerakan mahasiswa Muslim. Dari Sumatera Barat, dari nagari-nagari yang pernah melahirkan pemimpin besar, kita kirimkan sinyal ke seluruh Indonesia, bahwa mahasiswa belum mati. Bahwa SEMMI bangkit. Bahwa umat masih punya harapan.