Oleh: Ardinal Bandaro Putiah
Hari-hari ini, gema takbir kembali menggema di langit umat Islam. Idul Adha datang membawa makna mendalam tentang kepatuhan, pengorbanan, dan cinta kepada Allah. Ibadah qurban bukan semata ritual tahunan, tetapi simbol ketundukan total seorang hamba kepada perintah Tuhannya. Dari peristiwa Nabi Ibrahim dan Ismail, kita belajar bahwa iman sejati menuntut pengorbanan yang paling kita cintai.
Namun, dalam konteks kehidupan berorganisasi, khususnya dalam tubuh Syarikat Islam Indonesia (SII), ibadah qurban juga membawa pesan yang lebih luas, pengorbanan demi prinsip, ketaatan pada amanah, dan keikhlasan untuk mengembalikan arah perjuangan ke jalan yang benar.
Qurban adalah Kepatuhan pada Amanah
Nabi Ibrahim AS tidak menolak perintah Allah untuk menyembelih putranya, dan Ismail AS pun menjawab dengan kesetiaan: “Lakukan apa yang diperintahkan, insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Apa makna semua ini bagi kita khususnya para pemimpin dan kader SII?
Apakah kita juga taat terhadap amanah konstitusi persyarikatan? Apakah kita masih meyakini bahwa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) adalah “perintah besar” yang harus dijaga, dilaksanakan, dan tidak dilanggar?
Di tengah arus pragmatisme politik dan godaan kekuasaan, konstitusi SII telah menunjukkan garis yang tegas, bahwa Syarikat Islam Indonesia adalah organisasi umat, bukan kendaraan kekuasaan. Ia adalah rumah ideologis, bukan partai politik. Namun, belakangan ini, upaya untuk merobek garis batas itu semakin nyata.
Qurban adalah Mengorbankan Ego dan Ambisi
Idul Adha mengajarkan bahwa jalan kebenaran seringkali menuntut kita mengorbankan sesuatu yang paling kita cintai, entah itu jabatan, kekuasaan, pengaruh, bahkan agenda pribadi. Maka jika ada yang memaksakan kehendak untuk mengubah arah perjuangan SII demi kepentingan sesaat, sesungguhnya mereka sedang meninggalkan semangat qurban yang sejati.
Kita harus bertanya:
Apakah benar perubahan status dari ormas ke partai politik merupakan jalan kebaikan, jika ia melanggar amanah Muktamar?
Apakah mungkin membangun peradaban umat, jika kita sendiri mengkhianati asas dan cita-cita organisasi?
Apakah masih layak kita disebut sebagai pewaris Sarekat Islam jika kita merobek warisan ideologis yang telah dirumuskan dengan darah, keringat, dan pengorbanan para pendiri?
Kembali ke Konstitusi adalah Bentuk Ketaatan
Mereka yang benar-benar memahami makna qurban akan memilih taat kepada konstitusi. Bukan karena mereka takut kehilangan posisi, tapi karena mereka sadar bahwa ketaatan kepada prinsip lebih mulia daripada memenangkan ambisi pribadi.
Konstitusi SII telah mengarahkan organisasi ini sebagai wadah perjuangan umat Islam dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, serta dakwah, bukan dalam pertarungan pragmatis politik elektoral.
Setiap keputusan organisasi harus tunduk pada hasil Majelis Tahkim yang sah dan demokratis, bukan pada manuver elite. Oleh karena itu, mengabaikan keputusan Majelis Tahkim ke-XXXIX dan mendorong Majelis Tahkim Luar Biasa secara sepihak, tanpa melalui proses musyawarah yang benar, adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai qurban itu sendiri.
Qurban Adalah Momen Muhasabah
Momentum Idul Adha adalah waktu yang tepat untuk bermuhasabah:
Apakah kita masih meletakkan cita-cita Syarikat Islam Indonesia di atas kepentingan pribadi?
Apakah kita siap mengorbankan ambisi kita demi menjaga marwah dan kesucian organisasi?
Apakah kita berani melawan arus pragmatisme dengan tetap berdiri di atas konstitusi yang ideologis?
Menyembelih Ego, Menyelamatkan Organisasi
Qurban bukan hanya menyembelih kambing atau sapi. Ia adalah penyembelihan terhadap ego, keserakahan, dan kemunafikan yang menggerogoti tubuh organisasi.
Saat ini, yang paling perlu disembelih adalah:
Ego pribadi yang merasa paling benar,
Ambisi untuk menjadikan organisasi sebagai kendaraan politik,
Ketakutan untuk tunduk pada keputusan konstitusi.
Mari jadikan Idul Adha ini sebagai titik balik. Kita tidak hanya memperingati sejarah Nabi Ibrahim dan Ismail, tetapi juga menghidupkan semangat mereka dalam bentuk ketaatan kepada konstitusi dan pengorbanan demi perjuangan ideologis.
Syarikat Islam Indonesia bukan milik satu-dua orang. Ia milik umat. Ia milik sejarah. Ia adalah titipan dari para pendiri yang harus dijaga dengan jiwa, bukan dengan manuver. Jika kita serius ingin menyelamatkan umat, maka langkah pertama adalah kembalikan SII ke jalan konstitusinya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Walillahilhamd.
Semoga Allah menerima qurban kita, baik berupa darah, daging, maupun keputusan- keputusan besar yang kita ambil untuk menyelamatkan jalan perjuangan ini.
Semoga saja…