GMNI dan Luka yang Tak Pernah Sembuh: Menolak Kongres Bandung, Menjemput Persatuan Marhaenis

GMNI dan Luka yang Tak Pernah Sembuh: Menolak Kongres Bandung, Menjemput Persatuan Marhaenis

 

Sudah lebih dari lima tahun sejak peristiwa Kongres Ambon 2019 memecah tubuh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menjadi dua keping yang saling menjauh. Sejak saat itu, GMNI bukan lagi satu rumah ideologis, tapi dua ruang sunyi yang saling mengklaim otoritas kebenaran. Masing-masing membangun struktur, menggelar kongres, mencetak kader, bahkan berbicara atas nama Marhaen, sementara yang mereka tinggalkan adalah luka yang tak kunjung disembuhkan: persatuan yang tertunda.

 

Hari ini, Kongres Bandung kembali digelar oleh salah satu faksi yang mengatasnamakan GMNI. Namun bagi banyak kader, termasuk saya, kongres ini tidak lebih dari upaya mempermanenkan perpecahan. Sebuah forum sepihak yang tidak dibangun atas dasar musyawarah bersama, tidak memanggil semua cabang GMNI lintas kubu, dan tidak berpijak pada semangat penyatuan, layak untuk ditolak secara ideologis dan organisatoris. Kongres seperti ini bukan jalan keluar, melainkan perpanjangan krisis.

 

Kita Bukan Sekadar Organisasi, Kita Adalah Amanat Sejarah

GMNI bukan sekadar organisasi mahasiswa. Ia adalah amanat sejarah politik Sukarno, proyek besar untuk mencetak kader bangsa yang berpikir dan berjuang dalam satu tarikan napas. Maka ketika GMNI terpecah, bukan hanya tubuh organisasi yang retak, tetapi salah satu fondasi ideologis bangsa ini ikut terkoyak.

 

Dalam Buku Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Karno menulis dengan keyakinan: “Revolusi tidak bisa ditopang oleh orang-orang yang tidak sanggup bersatu. Persatuan adalah syarat kemenangan, perpecahan adalah jalan kekalahan.” GMNI seharusnya menjadikan kutipan ini sebagai cermin. Jika kita terus hidup dalam dua versi yang saling menegasikan, maka kita telah menjauh dari mandat ideologis Bung Karno. Dan itu berarti, kita mengkhianati warisan perjuangan itu sendiri.

 

Marhaenisme Tidak Butuh Dua Panggung, Tapi Satu Barisan

Apa arti mengaku Marhaenis, jika kita membiarkan organisasi ini jadi alat kontestasi kepentingan, bukan alat pembebasan rakyat? Marhaenisme bukan doktrin statis, ia adalah alat analisis dan praksis pembebasan, yang menuntut keberanian berpikir dan kerendahan hati untuk bersatu.

 

Dualisme GMNI hari ini bukan soal beda tafsir ideologi. Ini adalah soal ego sektoral yang tumbuh tanpa keberanian menyapa saudara sendiri. Seandainya kita sungguh-sungguh memegang teguh prinsip Marhaenisme, kita tidak akan mendirikan dua mimbar yang saling berteriak. Kita akan duduk satu meja, bicara dalam semangat gotong royong, dan menyusun kembali arah gerakan, bukan menyusun daftar musuh di antara sesama kader.

 

Kongres Bandung, Menolak Keabsahan yang Mengoyak Kedaulatan Kader

Kongres Bandung yang digelar hari ini tidak lahir dari mekanisme demokrasi internal yang sahih. Ia tidak melibatkan seluruh elemen GMNI secara inklusif, tidak dibangun atas prinsip musyawarah mufakat, dan tidak memfasilitasi jalan damai antar faksi. Maka, dalam kerangka AD/ART organisasi, dan lebih penting lagi, dalam kerangka etika ideologis, Kongres Bandung adalah forum yang tidak sah. Ia cacat prosedural, cacat partisipatif, dan cacat moral.

 

Keabsahan bukan soal siapa yang pegang SK. Keabsahan adalah soal siapa yang membangun rumah bersama, bukan sekadar mengklaim.

 

Jalan Pulang Bernama Persatuan

GMNI tidak akan pernah benar-benar pulih jika kita terus hidup dalam politik klaim. Persatuan bukan utopia, ia adalah keniscayaan jika kita mau menanggalkan ego dan kembali ke nilai-nilai ideologi. Kita tidak butuh dua GMNI, kita hanya butuh satu, GMNI yang berpijak pada kesadaran kolektif, musyawarah nasional, dan kedaulatan kader akar rumput.

 

Saya menyerukan, sebagai kader, agar seluruh elemen GMNI yang berada di kubu manapun, mendesak lahirnya Kongres Persatuan Nasional, sebagai forum yang menyatukan kembali yang tercerai. Jangan biarkan generasi mendatang mewarisi konflik yang kita ciptakan hari ini. Jangan biarkan nama GMNI tercatat dalam sejarah sebagai organisasi yang tak mampu memulihkan dirinya sendiri. Cukup sudah GMNI dipecah oleh ego, cukup sudah kongres digelar atas nama legalitas semu. Saatnya kita rebut kembali organisasi ini dari tangan yang memperdagangkan ideologi. Saatnya kita bangun Kongres Persatuan Nasional. Jika kita benar-benar kader, maka bersatulah atau enyahlah dari sejarah perjuangan ini.

 

Penulis: Randa Fikri Anugrah Kader GMNI Tanah Datar.