Di Balik Gerimis Pariaman: Kisah Pencari Data di Jantung Kota Pesisir
Oleh: Vannesa Aghniya Syafiqa
(Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Andalas)
Pagi itu, Sabtu, 13 September 2025, azan Subuh di Stasiun Kereta Api Simpang Haru menjadi penanda dimulainya sebuah perjalanan riset yang dinantikan. Pukul 05.00 WIB, dengan udara yang masih dingin dan aroma kopi pagi yang hangat, rombongan kelas kami, termasuk aku, telah bersiap. Perjalanan kuliah lapangan mata kuliah Sejarah Lisan ke Pariaman bukan sekadar piknik, melainkan misi untuk mendokumentasikan kehidupan masyarakat pesisir.
Tepat pukul 05.40, sirene kereta memecah keheningan. Kereta berwarna gagah itu perlahan merapat, membawa kami dalam perjalanan sejauh satu setengah jam. Duduk di dekat jendela, di antara teman-teman dan dosen pengampu, Bapak Zaiyardam Zubir, waktu terasa singkat. Obrolan ringan, tawa lepas, dan cerita-cerita pengalaman Pak Dam mengisi gerbong, mengubah suasana hening menjadi riuh keakraban.
Di luar jendela, pemandangan mulai berganti. Dari siluet gelap, kini terbentang hamparan sawah hijau yang diselimuti embun pagi. Perjalanan itu makin dramatis ketika rintik hujan mulai turun. Bau tanah basah dan kesegaran udara memasuki gerbong, seolah menjadi musik pengiring dalam perjalanan kami. Hujan ini bukan penghalang, melainkan panggung untuk tawa dan cerita yang makin mempererat persaudaraan.
Memeluk Ketenangan di Tengah Badai
Setibanya di Stasiun Pariaman, hujan menyambut kami dengan lebih deras. Langit masih kelabu, membasahi setiap sudut stasiun. Perjalanan sejenak tertunda, namun momen ini justru menjadi berkah. Di bawah atap stasiun yang sederhana, kami berkumpul, berbagi tawa, kisah lucu, hingga impian masa depan. Suara hujan yang berjatuhan menjadi saksi bisu kehangatan persahabatan.
Sambil menunggu, pandangan kami tertuju ke laut lepas. Dari balik tirai hujan, debur ombak Pantai Pariaman yang tak kenal lelah menghantam bibir pantai terlihat jelas. Angin laut membawa aroma asin dan bisikan samudra. Di tengah derasnya hujan dan gelombang yang menghempas, kami menemukan ketenangan dan makna. Perjalanan ini mengajarkan, bahwa esensi sebuah perjalanan adalah menikmati setiap momen, merayakan kebersamaan, dan menemukan keindahan di balik tantangan.
Misi Kuliah Lapangan Dimulai
Ketika hujan mereda, hanya menyisakan rintik halus di aspal, langkah kami harus berpisah dari rombongan. Aku, Viola, dan Dafa bergegas memulai misi utama: kuliah lapangan. Target kami adalah mendokumentasikan kehidupan dan profesi masyarakat di Pariaman.
Langkah awal kami adalah singgah ke masjid terdekat, bukan sekadar untuk beribadah, melainkan untuk membenahi diri dan mempersiapkan mental. Kami merapikan pakaian yang lembap dan mengatur strategi wawancara, meyakinkan diri untuk menghadapi narasumber dengan kesiapan penuh.
Dengan kesiapan ini, kami melangkah keluar. Jalanan di pinggir pantai terasa syahdu, dengan aroma khas laut bercampur wangi tanah basah. Kami berjalan menyusuri deretan warung kecil dan rumah warga, menyapa ramah penduduk setempat, sambil mencari lokasi narasumber yang telah kami targetkan.
Setiap perjumpaan menjadi petualangan baru. Kami berinteraksi dengan pedagang yang gigih menjajakan dagangan. Cerita-cerita mereka mengalir tulus, memberikan kami pemahaman mendalam tentang kerja keras, ketahanan, dan kearifan lokal Pariaman. Tugas kuliah ini melampaui sekadar nilai; ia adalah sebuah pengalaman berharga yang membuka mata dan hati. Kami menyadari, di balik keindahan alamnya, Pariaman menyimpan kekayaan tak terhingga, yaitu keramahan dan semangat juang masyarakatnya.
Perjalanan ini adalah langkah awal. Masih banyak kisah di balik layar yang menunggu untuk didokumentasikan, janji untuk mengungkap semangat juang para Penjaga Siaga Bencana dan profesi lainnya di kota ini.