DETIK-DETIK GELAP SUMATERA: KISAH MEREKA YANG BERLARI DARI DERU LUMPUR
Oleh: Dafa Sah Putri, 2310712023, Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Sumatera pada akhir November 2025 bukan sekadar hari biasa, langit menangis lebih deras daripada biasanya, dan deru alam berubah menjadi ancaman yang tak terduga. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, hujan ekstrem yang dipicu oleh sistem badai tropis Cyclone Senyar menggulingkan rutinitas menjadi bencana besar seperti banjir bandang dan tanah longsor menghantam kampung dan kota tanpa ampun.
Di Aceh suara hujan yang biasanya memberi napas kehidupan berubah menjadi gong peringatan. Tanah yang lelah menahan ratusan milimeter curahan hujan akhirnya menyerah. Dalam hitungan menit, aliran air yang deras membawa tanah, bebatuan, dan puing struktur rumah berubah menjadi arus lumpur gelap yang menghantam setiap yang ada di jalannya. Meski warga sempat waspada, derasnya banjir membuat banyak orang tak sempat selamat memaksa mereka berlari mencari titik aman yang semakin menjauh.
Di Sumatera Utara, kisah serupa terulang lebih dramatis lagi. Kota-kota seperti Sibolga, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan menjadi medan perang antara manusia dan alam. Tanah longsor mendadak mencabut akar kehidupan di lereng bukit seperti rumah-rumah yang berdiri puluhan tahun ambruk ditelan bumi, dan jalan-jalan berubah menjadi sungai lumpur. Jalan utama yang menghubungkan kampung dan kota tertutup, memutus akses keselamatan bagi ratusan jiwa yang terjebak. Evakuasi menjadi ancaman sendiri ketika jalan tertutup lumpur dan deru air semakin mendekat.
Di Sumatera Barat, kondisi tak kalah mengerikan yang dimana perkampungan di lembah-lembah mengalami kebanjiran yang cepat dan besar. Warga yang semula berkumpul di rumah mereka pada saat itu, kini terpaksa mengangkat barang seadanya dan berlari menuju tanah yang lebih tinggi, sementara deru lumpur menghantam belakang mereka seakan menagih apa pun yang berat di tangan mereka. Banyak yang kehilangan tempat tinggal dalam sekejap, sementara yang selamat membawa luka dan kelelahan.
Bayangan hitam tak hanya datang dalam bentuk air dan tanah yang bergerak. Kegelapan juga merayap lewat putusnya komunikasi, listrik yang padam di banyak titik, dan akses jalan yang terputus membuat proses penyelamatan menjadi dramatis. Tim penyelamat harus menembus medan licin demi mencapai setiap keluarga yang masih terjebak. Di beberapa titik, relawan dan warga sendiri saling bantu mendorong kendaraan yang tersekat, atau menarik anak-anak yang hampir tersapu dalam arus.
Seiring jam berganti hari, laporan demi laporan terus berdatangan dari posko kemanusiaan. Ratusan jiwa dilaporkan hilang, ribuan mengungsi, dan ratusan rumah rusak berat atau hancur sama sekali. Hingga awal Desember 2025, total korban jiwa diperkirakan mencapai ratusan, dengan jumlah pengungsi yang melampaui ratusan ribu orang sebuah tanda betapa dahsyatnya deru lumpur yang melanda pulau ini.
Namun di tengah gelap dan deru lumpur, ada juga cerita tentang solidaritas warga yang mengevakuasi tetangganya di tengah derasnya hujan, relawan dan tim SAR yang tak kenal lelah memasok bantuan demi bantuan, dan keluarga yang saling menggenggam tangan tetap kuat, meski tanah tempat tinggal mereka telah berubah selamanya.
Sumatera pada akhir November 2025 akan dikenang sebagai hari saat tanah menangis bersama manusia, saat deru lumpur bukan hanya ancaman fisik, tetapi juga pengingat bahwa alam bila disakiti, dapat mengembalikan pukulan yang tak terduga. Dan di balik semua itu, kisah tentang keberanian dan kemanusiaan tetap hidup, menunjukkan bahwa di tengah bencana tergelap sekalipun, harapan tak pernah benar-benar padam.






