Budaya Minangkabau yang Mulai Retak oleh Zaman
Minangkabau dikenal dunia sebagai salah satu kebudayaan besar di Nusantara yang memiliki kekayaan adat, falsafah, dan sistem sosial yang unik. Namun dalam diam, warisan agung ini tengah menghadapi tantangan besar. Di tengah deru globalisasi dan arus teknologi, budaya Minang perlahan tergerus. Bukan karena dirampas, tapi karena ditinggalkan.
Falsafah luhur seperti “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” mulai kehilangan tempatnya dalam kehidupan nyata. Ia lebih sering menjadi kutipan seremonial, bukan laku keseharian. Banyak anak muda Minang yang lebih mengenal budaya populer asing dibanding petatah-petitih sendiri. Padahal dari sanalah jati diri dibentuk.
Sistem matrilineal, yang selama ini menjadi kebanggaan Minang sebagai kearifan lokal, kini memasuki masa krisis. Peran mamak (paman dari garis ibu) sebagai pengasuh dan pembimbing mulai kabur. Generasi muda tak lagi mengenali konsep kemenakan atau pusako tinggi. Yang terjadi justru sengketa harta dan hilangnya rasa malu terhadap adat.
Ironisnya, merantau yang dulu menjadi proses pembelajaran dan pematangan diri kini berubah arah. Banyak yang pergi tanpa niat kembali, dan lupa membangun nagari. Rasa memiliki terhadap kampung halaman kian menipis. “Pulang basamo” berganti dengan “mudik virtual”, dan surau tempat belajar agama dan adat kini sepi, diganti layar-layar digital yang tak membentuk karakter.
Seni dan bahasa Minang pun mengalami kemunduran. Randai, saluang, dan dendang mulai kehilangan penonton dan pelaku. Bahasa ibu yang kaya makna dan ekspresi kini hanya terdengar di mulut generasi tua. Jika tak ada regenerasi, maka budaya ini bisa mati perlahan—bukan karena dibunuh, tapi karena dilupakan.
Namun belum semua hilang. Masih ada secercah harapan dari anak-anak muda yang sadar akan pentingnya akar. Mereka menulis, membuat konten, menggagas komunitas adat, dan kembali menjejak kampung. Tapi gerakan ini masih kecil, dan butuh dukungan luas—terutama dari para pemangku adat, lembaga pendidikan, dan pemerintah daerah.
Jika kita tidak segera bertindak, dalam satu atau dua generasi ke depan, Minangkabau mungkin hanya tinggal nama dalam buku sejarah. Sebuah peradaban besar yang gagal mewariskan dirinya sendiri.
Mari bertanya pada diri sendiri:
Apakah kita masih Minangkabau, atau hanya penumpang di tanah leluhur yang semakin asing?
Penulis: Ardy Mu’tamar (sutan)