Oleh: Ardinal Bandaro Putiah
Tanggal 15 Juni 2025, Padang kembali menjadi saksi sejarah sebuah perjalanan panjang dan penuh liku: Kongres Nasional Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) ke VII. Kongres ini bukan hanya sekadar agenda rutin lima tahunan, bukan pula sekadar seremoni struktural. Ia adalah momentum evaluatif dan proyeksi masa depan. Ia adalah penegasan bahwa SEMMI tetap berdiri, bahkan ketika diterpa arus ketidakpastian dan kekeringan dukungan yang semestinya hadir dari para pemangku kepentingan persyarikatan.
Perjalanan SEMMI hingga titik ini bukanlah kisah kemapanan. Ia adalah kisah kegigihan. Bila boleh mengutip kembali jejak sejarahnya, SEMMI mengalami kelahiran kembali pada tahun 2016, saat organisasi ini bangkit dari kondisi stagnan dan hampir dilupakan. Saya masih mengingat betul, sejak kebangkitan itulah saya mengikuti denyut nadi organisasi ini dari waktu ke waktu. Ia belum mapan seperti OKP-OKP lain, namun ia membawa bara yang menyala dari kedalaman semangat ideologisnya.
Adalah Azizi Rois, sosok yang menurut hemat saya, berhasil mengangkat SEMMI dari kegelapan ruang ke permukaan diskursus nasional. Ia bukan hanya membangunkan organisasi, tapi menyematkan kembali identitas ideologis SEMMI sebagai organ mahasiswa yang bukan sekadar aktivis kampus, tetapi pelanjut sejarah panjang Sarekat Islam. Di tangan kepemimpinan yang sadar arah inilah, SEMMI kembali diperbincangkan dan dirasakan keberadaannya. Tidak mulus, tentu saja. Tetapi nyata. Dan dalam gerakan mahasiswa, keberadaan yang nyata jauh lebih berharga daripada kemasan yang semu.
Keberhasilan itu tidak semata dalam pengakuan publik atau dinamika nasional. Di Sumatera Barat, misalnya, benih-benih kader Syarikat Islam Indonesia justru banyak tumbuh dari rahim SEMMI. Mereka bukan sekadar aktivis, tapi ideolog muda yang menapaki jalan panjang sejarah persyarikatan. Mereka pulalah yang kemudian menjadi tulang punggung bagi Pemuda Muslimin Indonesia Wilayah Sumatera Barat. Tanpa banyak sorot kamera dan tepuk tangan publik, mereka bekerja. Diam-diam tapi konsisten. Dalam sunyi mereka merawat akar.
Memang, bila bicara kelemahan, kita bisa menyusun daftar panjang. Organisasi ini masih jauh dari ideal dalam manajemen, dalam pendanaan, dalam konsolidasi struktural. Tapi justru dalam keterbatasan itulah, SEMMI menjadi ruang latihan mental dan ideologis. Ia menjadi sekolah kader dalam bentuk paling konkret. Karena itu, saya berani mengatakan: SEMMI adalah organ terpenting dari persyarikatan ini untuk proses rekrutmen dan produksi kader. Mahasiswa, dalam fase pencariannya, menemukan dalam SEMMI tempat untuk belajar memilih nilai, memahami sejarah, dan menemukan makna pengabdian.
Sayangnya, cinta ini seperti cinta sepihak. SEMMI berlari mengejar idealismenya, tapi organisasi induknya tidak selalu hadir sebagai penopang. Saya tahu ini bisa terdengar subjektif, tapi saya harus jujur, ada jarak psikologis dan struktural antara SEMMI dan induk organisasinya. Seolah SEMMI adalah anak yang dipaksa tumbuh sendiri di tengah keterbatasan yang ia miliki. Dalam banyak fase perjalanan, saya melihat bagaimana SEMMI harus berjalan terseok-seok tanpa sokongan berarti, baik moril maupun materiil. Bahkan, dalam upaya menuju kongres ini pun, dialektika dengan induk organisasi kerap lebih melelahkan daripada membangun.
Saya pernah berpikir, ini seperti ingin membasmi tikus, tapi malah membakar lumbung. Ada kemarahan yang tidak proporsional, ada kebijakan yang tidak bijak. Ketika semangat muda ingin melaju, malah dibebani keraguan dan hambatan. Ketika kader ingin berdiri, malah dibenturkan pada tembok prosedural dan ego struktural. Padahal, kader yang tumbuh dari SEMMI adalah masa depan Syarikat Islam Indonesia itu sendiri. Mematikan mereka adalah mematikan harapan.
Namun, di tengah semua itu, saya tetap harus memberi apresiasi. Sebab, semangat itu belum mati. Bahkan dalam keterbatasan finansial dan struktural, mereka tetap memilih untuk berkongres. Mereka tidak menunggu keadaan ideal. Mereka tidak tunduk pada realitas yang timpang. Mereka memilih untuk tetap berdiri, menantang arus, melawan apatisme, dan menolak stagnasi.
Bagi saya, inilah esensi SEMMI, ia tidak hadir untuk menjadi nyaman. Ia hadir untuk menggugat, menyusun, dan menata kembali arah perjuangan. Ia adalah api kecil yang menyala di tengah gelap. Ia adalah suara pelan yang mencoba membangunkan kita dari tidur panjang. Ia bukan pelengkap agenda persyarikatan, tapi jantung dari masa depannya.
Kongres Nasional ke VII ini bukan hanya soal siapa yang menang dan siapa yang memimpin. Ia adalah tentang bagaimana SEMMI membuktikan eksistensinya. Bahwa dalam segala keterbatasan, mereka tetap mampu menggelar forum tertinggi organisasi secara nasional. Bahwa dalam segala kekurangan, mereka masih setia pada jalan ideologi. Bahwa mereka percaya, organisasi ini bukan milik satu generasi, tapi warisan sejarah yang harus terus diperjuangkan.
Saya berharap, dari rahim kongres ini lahir kader-kader yang tidak hanya cerdas secara manajerial, tetapi teguh secara ideologis. Yang tidak hanya bicara sistem dan struktur, tetapi paham arah dan cita. Yang tidak hanya ingin tampil, tetapi siap bekerja dalam senyap.
Untuk semua itu, saya berdiri bersama SEMMI. Bukan karena mereka sempurna, tetapi karena mereka berani. Dan dalam dunia yang semakin kehilangan keberanian, keberanian itulah yang kita butuhkan.
Catatan Subjektifitas Dari Seorang Yang Membersamai SEMMI di Sumatera Barat.