Bahasa Lokal yang Tersisih: Dinamika Bahasa Mentawai dan Bahasa Minang di Sipora, Tua Pejat

Bahasa Lokal yang Tersisih: Dinamika Bahasa Mentawai dan Bahasa Minang di Sipora, Tua Pejat

 

Penulis: Muhamad Arif Al Musri

(Mahasiswa Universitas Andalas, Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Minangkabau)

 

Salah satu pulau utama di Kepulauan Mentawai di Sumatra Barat, Pulau Sipora terkenal dengan keindahan alamnya yang luar biasa. Sipora adalah salah satu tujuan wisata terbaik di Indonesia karena pantai pasir putihnya, ombak yang menggoda peselancar dari seluruh dunia, dan budaya lokalnya yang unik. Namun, di balik keindahan itu terdapat kisah yang tidak banyak diketahui orang: pertempuran diam-diam antara bahasa Mentawai lokal dengan bahasa pendatang, terutama bahasa Minangkabau. Pertempuran ini perlahan-lahan mengubah masyarakat di daerah ini, terutama di Tua Pejat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai.

 

Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan budaya dan bahasa tidak dapat dipisahkan dari proses sosial, moneter, dan politik. Bahasa Mentawai, yang telah menjadi identitas utama masyarakat setempat selama berabad-abad, kini mulai menjauh dari masyarakat umum. Sebaliknya, bahasa Minangkabau, yang dibawa oleh para pendatang dari daratan Sumatra Barat, secara bertahap tetapi pasti menjadi bahasa yang lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari. Kelangsungan budaya Mentawai sangat dipengaruhi oleh pergeseran ini.

 

Bahasa Minang, biasanya digunakan dalam perdagangan, serta dalam percakapan sehari-hari di pasar dan tempat umum. Anak-anak muda Mentawai yang bersekolah di Tua Pejat lebih akrab dengan bahasa Minang dan Indonesia daripada bahasa ibu mereka, meskipun bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa resmi dalam administrasi. Bahasa Mentawai secara bertahap masuk ke lingkungan domestik dan informal.

 

Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi juga berfungsi sebagai penyimpan pengetahuan lokal, tradisi, dan identitas seseorang. Bahasa Mentawai memiliki banyak kearifan lokal yang abadi. Sebagai contoh, istilah khusus yang digunakan untuk berburu, bercocok tanam, menggunakan ramuan hutan untuk menyembuhkan penyakit, atau memahami perubahan musim melalui tanda-tanda alam. Banyak konsep yang terkait dengan kehidupan masyarakat Mentawai tidak ada dalam bahasa Minang atau Indonesia. Dengan kehilangan bahasa, sebagian besar pengetahuan lokal hilang, yang berdampak negatif pada kekuatan budaya dan lingkungan asli Mentawai.

 

Meskipun ada upaya yang dilakukan untuk mempertahankan bahasa Mentawai, mereka masih sangat sedikit. Beberapa komunitas lokal dan lembaga budaya berupaya menghidupkan kembali bahasa ini melalui program informal. Misalnya, mengajarkan anak-anak bahasa Mentawai, membuat buku cerita bergambar dalam bahasa lokal, dan mencatat cerita rakyat, lagu, dan doa tradisional. Tapi masalah besar masih ada. Ini berjalan lambat karena kurangnya tenaga pengajar yang fasih berbahasa Mentawai, kurangnya dukungan dari pemerintah daerah, dan kurangnya perhatian publik.

 

Fenomena yang terjadi di Sipora bukanlah hal yang unik di seluruh dunia. UNESCO mengklaim bahwa setiap dua minggu, satu bahasa punah di dunia. Bahasa-bahasa besar yang dikaitkan dengan kekuasaan, ekonomi, dan modernisasi seringkali mengalahkan bahasa lokal yang kecil dan tidak memiliki dukungan institusional. Oleh karena itu, mempertahankan bahasa lokal seperti Mentawai sangat penting untuk masyarakat setempat dan untuk menjaga keragaman budaya manusia di seluruh dunia.

 

Sebagai mahasiswa Sastra Minangkabau, saya percaya bahwa sangat penting untuk menekankan masalah ini. Tidak cukup hanya memahami dan mengkaji sastra sebagai teks, kita juga harus mampu membaca dan menganalisis dinamika sosial dan budaya yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini, bahasa Minang, yang merupakan bahasa nenek moyang kita, menjadi bagian dari proses dominasi yang tidak adil terhadap budaya Mentawai. Ini bukan tentang menyalahkan satu pihak, itu lebih tentang meningkatkan kesadaran umum bahwa setiap budaya dan bahasa memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang.

 

Bahasa Minang jelas sangat kaya dan memainkan peran penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Namun, di daerah seperti Tua Pejat, prinsip keadilan budaya sangat penting. Tidak hanya tanggung jawab orang Mentawai untuk memberi bahasa Mentawai ruang yang setara untuk berkembang, tetapi juga tanggung jawab semua orang yang menginginkan keberagaman tetap ada. Dalam situasi seperti ini, upaya untuk mempertahankan bahasa harus dianggap sebagai bagian dari upaya untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

 

Pengertian dan penghargaan satu sama lain memungkinkan harmonisasi budaya dan bahasa yang berbeda. Bayangkan jika setiap orang di Tua Pejat, baik pendatang maupun penduduk asli, dapat saling menghormati identitas bahasa mereka. Anak-anak Minangkabau juga belajar untuk memahami dan menghormati bahasa lokal di tempat mereka tinggal, tetapi anak-anak Mentawai bisa berbicara bahasa ibu mereka tanpa rasa malu. Membangun masa depan yang lebih kaya dan beragam adalah lebih dari sekedar mempertahankan tradisi.

 

Ke depan ada banyak tantangan. Bahasa-bahasa kecil terus ditantang oleh modernisasi dan globalisasi. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bahasa lokal dapat tetap hidup dan bahkan berkembang dengan kesadaran, pendidikan, dan kebijakan yang tepat. Negara-negara seperti Wales, Irlandia, dan Selandia Baru telah menunjukkan bahwa pendidikan bilingual, media lokal, dan penguatan budaya lokal dapat membantu pemulihan bahasa minoritas.

 

Kepulauan Mentawai juga dapat mengikuti jejak. Visi bersama, kemauan politik yang kuat, dan keberanian untuk mengutamakan keberagaman sebagai kekuatan daripada hambatan diperlukan. Dengan mengintegrasikan bahasa Mentawai ke dalam media lokal, sistem pendidikan, dan kehidupan sehari-hari, bahasa ini dapat kembali mendapatkan tempat terhormat di dalam masyarakatnya sendiri.

 

Sebagai penutup dari tulisan ini, harapan saya adalah bahwa Tua Pejat dan seluruh Kepulauan Mentawai dapat menjadi contoh bagaimana perbedaan bahasa dan budaya tidak harus berakhir dengan dominasi satu bahasa atas yang lain. Keberagaman, sebaliknya, dapat menjadi sumber kekayaan bagi komunitas secara keseluruhan. Bahasa pada akhirnya adalah cara umat manusia memahami dunia, menceritakan kisah, dan bermimpi.

 

Jika bahasa Mentawai punah khususnya di Sipora, Tua Pejat, dunia kehilangan perspektif kehidupan yang unik. Akibatnya, kita semua harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa bahasa tetap hidup, bukan hanya sebagai simbol masa lalu, tetapi juga sebagai komponen penting dari masa kini dan masa depan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *