Antara Kopi atau Batu Bara di Minangkabau
Pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 wilayah Minangkabau atau Sumatra’s Westkust berada dibawah pengaruh Belanda, baik dari ekonomi maupun sosial. Di masa-masa tersebut kopi menjadi salah satu komoditas utama dalam perdagangan pada masa kolonial. Namun hal yang menarik mengenai komoditas kopi yang berasal dari Pedalaman Minangkabau ini tidak hanya memanfaatkan biji kopi tetapi juga daunnya atau dikenal dengan kopi kawa daun yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Munculnya kopi kawa daun ini meninggalkan jejak yang pedih bagi para petani kopi di Minangkabau pada pertengahan hingga akhir abad ke-19.
Pertengahan abad ke -19 hingga awal abad ke-20, wilayah Minangkabau atau Sumatra’s Westkust berada ditangan kuasa pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda. Pada pertengahan abad ke-19 ini Minangkabau tidak lepas dari kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Dalam hal ini diterapkannya penanaman komoditas tanaman ekspor yang memiliki daya jual yang lebih tinggi, sehingga pemerintahan Belanda menerapkan hal ini atas wilayah jajahan mereka dan pedalaman Minangkabau terdampak akan sistem tanam paksa ini.
Penyeragaman terhadap tanaman perkebunan di Minangkabau salah satunya adalah tanaman kopi. Tanaman kopi yang berasal dari pedalaman Minangkabau ini memiliki daya saing yang kuat dalam kelas ekspor sehingga banyak diminati oleh para pembeli. Namun dalam perkembangannya masyarakat Minangkabau merasakan ketidakadilan dalam penerapan sistem pembagian hasil, keuntungan yang mereka peroleh tidak sebanding dengan harga kopi yang kian melambung. Tidak hanya hak hak mereka terenggut dari pembagian keuntungan namun juga lahan-lahan mereka yang digarap menjadi ladang kopi membuat mereka kesulitan dalam menggarap lahan mereka sendiri atas perjanjian para pemilik lahan dengan Belanda, hal ini dapat menjelaskan secara singkat bagaimana kondisi masyarakat Minangkabau dalam diterapkannya sistem tanam paksa tersebut.
Pada perkembangannya tidak hanya biji kopi yang dapat dimanfaatkan, namun juga daun kopinya. Masyarakat Minangkabau yang sebelumnya sudah mengenal kopi, tetapi dalam kenyataannya mereka memanfaatkan kopi daun untuk dikonsumsi sebagai minuman layaknya teh dan masyarakat Minangkabau sendiri menyebutnya dengan “kopi kawa daun”. Dan semenjak diterapkannya sistem yang dibuat oleh Belanda, masyarakat Minangkabau bersedia menanam kopi pada lahan-lahan mereka. Tapi para petani tersebut tidak menyerahkan sepenuhnya hasil panen mereka ke gudang Belanda, melainkan mereka jual sendiri ke pantai timur hingga ke Singapura dan Malaka.
Tindakan berani dari masyarakat Minangkabau merupakan sebuah kegagalan dari Belanda dalam menerapkan sistem cultuurstelsel di Sumatera Barat dan sistem ini resmi berhenti di Sumatera Barat Pada 1908 (Zed, M. (2010)). Dari hal ini dapat kita ketahui bahwasanya Belanda kewalahan dalam menghadapi masyarakat Minangkabau.
Kekayaan Minangkabau pedalaman sangat beragam tidak hanya tanah yang subur sehingga dapat ditanami komoditas yang dapat bersaing di kancah perdagangan internasional. Namun tidak hanya itu wilayah Sumatera Barat ini kaya akan kandungan mineral yang dapat dimanfaatkan dalam skala besar. Kandungan mineral yang berada di pedalaman Minangkabau ini dimanfaatkan dalam skala besar dan menjadi tonggak awal pembangunan sarana transportasi di wilayah Pedalaman Minangkabau yang menghubungkan ke wilayah utama jajahan kolonial yaitu di Padang.
Kandungan mineral ini berupa batu bara yang ditemukan oleh seorang ahli geologi yang ditunjuk Belanda untuk melakukan penelitian terhadap kandungan mineral yang ditemukan di Sawahlunto, tepatnya di Ombilin. Tokoh ini merupakan Willwem Hendrik de Grevee, ia memasuki kawasan ini pada 1867 dan perkiraan jumlah batubara yang ia temukan tersebut adalah sebesar 36 juta ton. Angka penemuan tersebut sangat konservatif untuk dikelola, wilayah penemuannya ini berada di sepanjang dan sekitar Sungai Ombilin yang berhulu di Danau Singkarak (Molhuysen, PC (Ed.), (1930).
Melalui penemuan ini mendorong pembangunan rel kereta api sebagai sarana transportasi penyalur batu bara yang harus dibawa ke Padang yaitu tepatnya ke Pelabuhan Emma Haven (pelabuhan teluk bayur sekarang). Dan menurut pertimbangan dari de Grevee, jalur dua arah untuk transportasi pengangkut batu bara melalui kereta api menuju barat melalui Solok ke Padang dan dari sisi timur kereta api membawa batu bara hingga titik dimana Sungai Kuanta yang dengan hal ini memanfaatkan kapal pada masa itu. Dari penggunaan dua jalur tersebut menciptakan sebuah hubungan antara pantai timur dan pantai barat Sumatera yang bermanfaat dalam hubungan kerjasama bagi kolonial pada masa itu (Molhuysen, PC (Ed.), (1930). Dan tepat pada 6 Juli 1887, Undang-Undang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda untuk membangun jalur kereta api dari Brandewijnsbaai di selatan Padang sepanjang kota itu ke Padang Panjang dan dari sana di satu sisi ke Fort de Kock dan di sisi lain ke Muaro Kalaban, Sawahlunto.
Masa pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 membawa merupakan masa yang penuh dinamika, berbagai macam kebijakan-kebijakan yang dibuat Belanda membawa sisi positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Dalam perkembangannya kita dapat menilai segala bentuk pembangunan yang dilakukan oleh Belanda hanyalah untuk keuntungan mereka pribadi, kita sebagai masyarakat Minangkabau pada masa itu hanya merasakan kerugian psikis, sosial dan ekonomi dalam jangka waktu yang panjang, hal ini membawa kehidupan suram bagi masyarakat Minangkabau. Berbagai macam pembangunan tersebut hanyalah bentuk memperluas kuasa dari pihak kolonial Belanda dan kita selalu berada dibawah tekanan mereka, kita layaknya budak di negeri sendiri.
Penulis: Divia Zusali
(2310712019/Mahasiswa Ilmu Sejarah Unand)
Sumber gambar: pinterest.com
# Referensi
Molhuysen, PC (Ed.). (1930). Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek (Vol.7, hal.945). Leiden: AW Sijthoffs Uitgevers-Maatschappij NV
https://www.dbnl.org/tekst/molh003nieu07_01/molh003nieu07_01_0945.php
Rahman, A. (2024). Penerapan Teknologi Rel Kereta Api di Sumatera Barat. Analisis Sejarah: Mencari Jalan Sejarah, 14(2), 63-68.
Zed, M. (2010). Dilema ekonomi melayu: dari melayu kopi daun hingga kapitalisme global. TINGKAP, 6(2), 67-77.






