Ambang Batas Parlemen: Menyaring atau Menghambat?

Ambang Batas Parlemen: Menyaring atau Menghambat?

 

Dalam demokrasi perwakilan seperti yang dianut oleh Indonesia, parlemen memiliki posisi sentral sebagai representasi dari kehendak rakyat. Namun, proses siapa yang berhak duduk di kursi legislatif itu tidak sepenuhnya didasarkan pada jumlah suara murni yang diperoleh di daerah pemilihan, melainkan harus melewati ambang batas parlemen (parliamentary threshold) secara nasional. Saat ini, Indonesia menetapkan ambang batas sebesar 4%, yang artinya hanya partai politik yang memperoleh setidaknya 4% suara sah nasional yang berhak memperoleh kursi di DPR. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

 

Penerapan ambang batas ini dimaksudkan sebagai mekanisme untuk menyaring partai-partai agar hanya yang memiliki dukungan luas dan solid yang bisa masuk ke parlemen. Tujuan utamanya adalah menyederhanakan sistem kepartaian, mencegah fragmentasi politik yang berlebihan, dan menciptakan efektivitas pemerintahan. Dalam sejarah politik Indonesia, terutama pasca-Reformasi, keberadaan puluhan partai politik yang berlaga dalam pemilu sempat membuat proses legislasi dan pembentukan koalisi pemerintahan menjadi rumit. Oleh karena itu, ambang batas dianggap sebagai instrumen teknokratik untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem politik.

 

Namun, persoalannya menjadi kompleks ketika kita melihat dampak nyata dari penerapan ambang batas tersebut. Dalam Pemilu 2019, misalnya, ada sekitar 13,5 juta suara sah pemilih yang terbuang karena partai-partai yang dipilih gagal melampaui ambang batas 4%. Suara ini mencakup partai-partai seperti Partai Berkarya, Partai Hanura, dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo), yang memperoleh jutaan suara tetapi tetap tidak mendapatkan representasi di DPR. Artinya, jutaan pemilih yang telah berpartisipasi secara demokratis tidak mendapatkan hasil konkret dari pilihannya. Ini bukan sekadar soal “kalah” dalam pemilu, tetapi menjadi persoalan representasi dan legitimasi sistem.

 

Dalam kerangka konstitusional, hal ini menimbulkan pertanyaan serius. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Ketika suara sah rakyat tidak dikonversi menjadi kursi karena aturan ambang batas nasional, bukankah hal itu berarti kedaulatan rakyat telah disubordinasikan oleh mekanisme administratif yang kaku? Dalam hal ini, ambang batas tidak hanya menjadi alat penyaring, tetapi juga menjadi penghambat aspirasi politik rakyat yang sah.

 

Lebih jauh, penerapan ambang batas nasional dalam sistem proporsional terbuka menciptakan ketidaksesuaian logika politik. Sistem proporsional terbuka menempatkan kekuatan pemilih untuk menentukan langsung calon legislatif pilihannya di daerah pemilihan. Namun, dengan adanya ambang batas nasional, suara rakyat di satu daerah bisa tidak dianggap sama sekali jika partainya tidak memenuhi syarat di tingkat nasional. Misalnya, seorang caleg di dapil yang memperoleh puluhan ribu suara bisa saja tidak lolos ke DPR karena partainya gagal secara nasional. Ini menyebabkan suara daerah tunduk pada hasil agregat nasional, yang secara prinsip mereduksi makna “perwakilan” itu sendiri.

 

Selain itu, keberadaan ambang batas juga memperkuat dominasi partai-partai besar dan memperlemah pluralisme politik. Partai kecil atau partai baru yang mencoba menghadirkan alternatif pandangan politik akan selalu terhambat oleh aturan ini. Bahkan jika mereka memiliki dukungan yang kuat secara lokal atau pada kelompok tertentu—misalnya partai berbasis aspirasi minoritas, kelompok adat, atau gerakan sosial tertentu—mereka tetap tidak akan masuk ke parlemen jika tidak melampaui batas 4% secara nasional. Akibatnya, inovasi politik dan regenerasi kepemimpinan nasional bisa terhambat karena struktur sistem lebih berpihak kepada status quo daripada membuka ruang bagi perubahan.

 

Situasi ini diperparah oleh kecenderungan pragmatisme partai besar yang makin jauh dari basis ideologis. Dalam banyak kasus, partai besar justru terjebak dalam kompromi politik yang transaksional dan jauh dari keberpihakan pada rakyat. Ketika hanya partai-partai besar yang masuk parlemen, dan sebagian besar darinya cenderung homogen dalam pendekatan kebijakan, maka pilihan rakyat menjadi sangat terbatas. Demokrasi akhirnya berubah menjadi sekadar kompetisi elit antarpartai mapan, bukan arena partisipatif yang benar-benar terbuka bagi rakyat untuk menentukan arah kebijakan bangsa.

 

Dari sudut pandang komparatif, negara-negara demokrasi maju seperti Belanda dan Israel juga menerapkan sistem proporsional, namun dengan ambang batas yang sangat rendah (sekitar 1-2%) atau bahkan tidak ada sama sekali. Meskipun parlemen mereka terdiri dari banyak partai, proses legislasi tetap bisa berjalan baik karena ditopang oleh budaya politik kompromistis dan sistem kelembagaan yang kuat. Ini membuktikan bahwa fragmentasi bukan semata-mata disebabkan oleh banyaknya partai, tetapi lebih kepada bagaimana mekanisme dan etika politik dijalankan.

 

Maka dari itu, solusi terhadap masalah ini bukanlah menghapus ambang batas sepenuhnya, tetapi mendesain ulang sistem pemilu agar lebih adil secara representatif dan tetap efisien secara institusional. Beberapa gagasan yang layak dipertimbangkan adalah:

 

1. Menurunkan ambang batas menjadi 2% agar partai kecil tetap punya peluang bersaing.

2. Mengganti ambang batas nasional dengan ambang batas di tiap daerah pemilihan, sehingga lebih mencerminkan realitas politik lokal.

3. Memberikan insentif bagi partai baru atau minoritas, misalnya dengan alokasi kursi tambahan non-dapil seperti reserved seats bagi kelompok tertentu.

4. Melakukan evaluasi berkala berbasis data terhadap dampak ambang batas terhadap efektivitas legislatif dan kualitas kebijakan yang dihasilkan.

 

Pada akhirnya, sistem pemilu seharusnya menjadi instrumen demokrasi yang memfasilitasi, bukan menghambat. Ambang batas parlemen mungkin dapat menyaring jumlah partai agar parlemen tidak terlampau gemuk, tetapi jika penyaringan itu justru mengebiri representasi, maka ia telah gagal dalam memenuhi hakikat demokrasi itu sendiri. Negara yang besar seperti Indonesia dengan keragaman suku, budaya, agama, dan pandangan politik memerlukan sistem pemilu yang mampu mengakomodasi berbagai suara, bukan menyaringnya secara eksklusif. Demokrasi sejati bukan hanya soal stabilitas, tetapi juga tentang keadilan, inklusi, dan hak rakyat untuk didengar.

 

Oleh: Muhamad Alfarozy

 

Mahasiswa Prodi Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *