Kegagalan Fundraising dan Stagnasinya Gerakan Ideologis :Saat Idealisme Tiarap Karena Ketiadaan Pendanaan

Nasional129 Dilihat

Kegagalan Fundraising dan Stagnasinya Gerakan Ideologis: Saat Idealisme Tiarap Karena Ketiadaan Pendanaan

Oleh: Ardinal Bandaro Putiah

Dalam Rangka Peringatan Hari Sumpah Pemuda

Antara Idealisme dan Realitas Ketiadaan Dana

Setiap tahun, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda sebagai tonggak sejarah ketika pada 28 Oktober 1928, para pemuda Nusantara meneguhkan tekad yakni satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Namun, delapan dekade lebih kemudian, pertanyaan besar muncul di manakah semangat ideologis pemuda hari ini? Mengapa banyak gerakan yang mengusung cita-cita luhur seeti keadilan, persatuan, kemandirian, dan Islam sebagai rahmat bagi semesta justru stagnan, bahkan tiarap?

Salah satu jawaban pahit namun nyata adalah ketiadaan pendanaan yang sehat dan berkelanjutan. Kita punya kader, punya ideologi, punya semangat, tapi tidak punya dana. Akibatnya, banyak gerakan ideologis hidup “seadanya”, pelatihan terhenti, penerbitan mati, media sunyi, dan ruang-ruang diskusi kehilangan daya hidup. Ideologi yang semula penuh gairah akhirnya menjadi sekadar jargon, sementara kader muda sibuk bertahan hidup.

Tulisan ini adalah otopsi ideologis dalam menganalisis bagaimana kegagalan fundraising menjadi penyebab utama stagnasi gerakan ideologis di Indonesia, terutama di kalangan mahasiswa dan aktivis. Dan lebih dari itu, ia adalah seruan ideologis agar kita kembali menata strategi perjuangan dengan basis ekonomi yang mandiri dan berkeadilan.

I. Ideologi, Kaderisasi, dan Sumber Daya Sebagai Trilogi Gerakan yang Tak Bisa Dipisahkan

Gerakan ideologis tidak berdiri di atas emosi, tetapi di atas struktur berpikir dan daya hidup yang konsisten. Ia ibarat tubuh yang memiliki ruh (ideologi), otot (kaderisasi), dan darah (pendanaan). Jika salah satu melemah, tubuh gerakan akan sakit dan jika dana berhenti, seluruh organ berhenti berfungsi.

  1. Ideologi sebagai Ruh Gerakan

Ideologi memberikan arah, makna, dan pembeda. Ia adalah kesadaran kolektif yang mengikat kader untuk berjuang melampaui kepentingan pribadi. Tetapi ideologi bukan dogma kaku, ia adalah energi moral yang menuntun gerak sejarah. Tanpa implementasi, ideologi hanya jadi hiasan seminar.

  1. Kaderisasi sebagai Mekanisme Regenerasi

Kaderisasi adalah upaya menanamkan nilai, menumbuhkan daya analisis, dan melatih keterampilan juang. Ia harus berlapis, spiritual, intelektual, dan sosial. Namun kaderisasi yang baik memerlukan ruang, waktu, dan dana. Buku harus dicetak, instruktur perlu bergerak, forum harus disiapkan, media harus aktif. Idealisme tidak bisa dibiayai dengan harapan kosong.

  1. Pendanaan sebagai Syarat Hidupnya Gerakan

Banyak yang lupa bahwa pendanaan bukan sekadar soal uang akan tetapi tentang kapasitas keberlanjutan ideologi. Sebuah organisasi yang tidak memiliki sistem keuangan yang sehat akan tergantung pada donatur sementara, dan pada akhirnya kehilangan otonomi. Di sinilah banyak gerakan ideologis mulai goyah, idealismenya tinggi, tetapi struktur pendanaannya rapuh.

II. Akar Krisis: Mengapa Fundraising Gagal di Gerakan Ideologis?

  1. Ketergantungan pada Sumbangan Sukarela

Sebagian besar organisasi ideologis masih menggantungkan hidup pada iuran kader atau sumbangan sukarela yang tidak terstruktur. Akibatnya, gerakan hidup dengan pola “proyek musiman” dimana ada dana bergerak, tak ada dana berhenti. Tidak ada sistem ekonomi gerakan yang mapan.

  1. Kurangnya Manajemen Keuangan dan Akuntabilitas

Banyak organisasi tidak memiliki sistem keuangan transparan, rencana strategis, atau unit fundraising profesional. Ini menyebabkan dua hal fatal, kepercayaan publik menurun, dan kader tidak belajar prinsip ekonomi perjuangan. Padahal Islam sendiri menegaskan pentingnya amanah dan transparansi dalam setiap urusan umat.

  1. Gagal Membangun Narasi Nilai terhadap Donor

Gerakan ideologis sering memandang fundraising sebagai “mengemis bantuan”, padahal sejatinya ia adalah mengajak berinvestasi dalam perubahan sosial. Ketika gerakan gagal membangun narasi ini, publik tidak merasa perlu menjadi bagian dari perjuangan. Akibatnya, potensi ekonomi umat yang besar tidak pernah terhubung dengan gerakan ideologis.

  1. Ketiadaan Model Bisnis Gerakan

Kemandirian ekonomi tidak berarti komersialisasi ideologi, tetapi inovasi dalam pembiayaan. Banyak gerakan gagal menciptakan unit usaha ideologis, misalnya penerbitan, media, merchandise, koperasi, atau kegiatan sosial-produktif yang menopang aktivitas gerakan. Akibatnya, mereka terus bergantung pada “kas tipis” yang cepat habis.

  1. Pergeseran Fokus Generasi

Kader muda kini hidup di era digital dan pragmatisme. Tanpa model pengelolaan modern, gerakan ideologis terasa lambat, ketinggalan, dan tidak menarik bagi mereka. Akibatnya, regenerasi stagnan, dan semangat ideologis tidak menemukan wadah kreatif yang relevan dengan zaman.

III. Dampak Stagnasi, Saat Idealisme Tiarap dan Ruh Gerakan Melemah

  1. Aktivitas Menurun, Gerakan Membeku

Tanpa dana, pelatihan kader terhenti, seminar dibatalkan, bahkan biaya transportasi untuk konsolidasi menjadi masalah. Akibatnya, dinamika organisasi menurun, dan kehadiran di ruang publik menghilang. Gerakan kehilangan denyutnya.

  1. Ideologi Menjadi Retorika Kosong

Ideologi yang tidak dihidupi melalui aksi nyata akan berubah menjadi slogan. Ketika kader tidak lagi mengalami “pengalaman ideologis”, belajar, berjuang, berkorban maka ideologi mati secara perlahan. Ia tinggal nama, bukan lagi daya.

  1. Hilangnya Daya Tarik bagi Generasi Baru

Generasi muda ingin melihat gerakan yang hidup, produktif, dan memberi makna. Jika gerakan hanya bicara ide besar tanpa bukti nyata, maka mereka akan mencari ruang lain. Ini mempercepat krisis regenerasi, dan mempersempit ruang gerak perjuangan.

  1. Ketergantungan pada Donor Eksternal dan Kompromi Ideologis

Saat kas kosong, beberapa gerakan mulai mencari “sumber cepat” yang kadang tidak sejalan dengan nilai ideologi. Inilah awal keretakan ruh perjuangan dimana saat dana menentukan arah, bukan sebaliknya. Idealisme kehilangan kedaulatan karena tunduk pada kepentingan finansial.

IV. Dimensi Ideologis dari Masalah Ekonomi Gerakan

Dalam sejarah Islam dan pergerakan nasional, aspek ekonomi selalu menjadi bagian dari perjuangan ideologis. Nabi Muhammad SAW memulai dakwah dengan dukungan kuat dari jaringan pedagang Makkah. Sarekat Islam tumbuh dari gerakan ekonomi kaum pribumi. Bahkan perlawanan politik bangsa ini tidak pernah terlepas dari kemandirian finansial kaum pergerakan.

Artinya, fundraising bukan sekadar mencari uang, tapi menjaga kedaulatan ideologi.
Gerakan yang miskin dana akan miskin pilihan, miskin strategi, dan akhirnya miskin keberanian.Tanpa ekonomi perjuangan, ideologi menjadi beban — bukan kekuatan.

V. Membangun Jalan Keluar, Menuju Gerakan Ideologis yang Mandiri

Kemandirian finansial gerakan bukan utopia. Ia bisa dibangun jika organisasi menata ulang sistemnya dengan pendekatan ideologis dan manajerial sekaligus.

  1. Kemandirian Ekonomi Sebagai Pilar Perjuangan

Gerakan harus memandang ekonomi sebagai bagian dari jihad ideologis. Membentuk koperasi kader, usaha kolektif, penerbitan, media online, hingga platform donasi digital yang transparan. Semua itu adalah bentuk ekonomi perjuangan. Ini bukan kapitalisme, tapi kemandirian ideologis.

  1. Diversifikasi dan Integrasi Pendanaan

Pendanaan tidak boleh bersifat tunggal. Iuran kader, donasi publik, kemitraan sosial, hingga penjualan produk edukatif harus saling menopang. Setiap aktivitas ideologis (pelatihan, riset, penerbitan, konten digital) bisa menjadi sumber keberlanjutan jika dikelola dengan sistem.

  1. Profesionalisasi Fundraising

Gerakan perlu memiliki tim fundraising yang memiliki kemampuan komunikasi, manajemen proyek, dan akuntansi. Mereka bukan sekadar “bendahara”, tetapi strategist ekonomi gerakan. Transparansi menjadi kunci agar setiap rupiah yang masuk terasa sebagai amanah, bukan sekadar bantuan.

  1. Digitalisasi dan Ekonomi Kreatif Gerakan

Era digital membuka peluang besar dimana crowdfunding, platform edukasi, konten YouTube, podcast, e-book ideologis. Semua ini bisa menjadi sumber daya baru jika digarap serius. Gerakan harus hadir dalam medan ekonomi digital, bukan sekadar medan debat ideologis.

  1. Kaderisasi dengan Orientasi Sosial-Produktif

Kader masa depan harus memiliki kompetensi ideologis dan kapasitas ekonomi. Pelatihan kader seharusnya mencetak pejuang yang tidak hanya mampu berpikir kritis, tetapi juga mampu membangun usaha sosial, mengelola komunitas, dan mendesain program berkelanjutan. Ideologi harus hidup di tangan kader yang kreatif dan produktif.

VI. Refleksi Hari Sumpah Pemuda, Menghidupkan Kembali Semangat Kolektif

Sumpah Pemuda bukan hanya ikrar linguistik, tetapi kontrak moral kolektif bahwa perubahan besar lahir dari persatuan cita-cita dan pengorbanan. Dulu, mereka miskin harta tetapi kaya semangat. Kini, kita kaya alat tetapi miskin arah.

Refleksi terpenting hari ini:

“Apakah ideologi kita masih hidup, atau hanya bertahan di antara kas yang kosong dan ruang-ruang diskusi yang sepi?”

Sudah saatnya gerakan ideologis membangun ekonomi perjuangan yang mandiri, bukan dengan meninggalkan idealisme, tapi dengan menegaskannya.
Kemandirian dana adalah kemandirian sikap.
Kemandirian ekonomi adalah kedaulatan ideologi.Tanpa itu, sumpah pemuda tinggal kenangan, dan gerakan tinggal cerita.

Dari Kesadaran ke Tindakan

Tulisan ini bukan sekadar refleksi, tetapi seruan. Gerakan ideologis tidak akan bangkit dengan retorika, tetapi dengan sistem yang kuat, kader yang produktif, dan pendanaan yang sehat.

Mari kita jadikan Hari Sumpah Pemuda ini sebagai momentum untuk membangun ekonomi perjuangan yang berideologi, agar idealisme tidak mati di meja rapat atau rekening kosong.

Jika pemuda 1928 bersumpah untuk menyatukan bangsa, maka pemuda hari ini harus bersumpah untuk menyatukan ideologi dan ekonomi perjuangan. Sebab tanpa keduanya, kita akan terus berjalan dalam lingkaran: penuh semangat, tapi tanpa tenaga.

Wallahu’alam.
Bukittinggi, 25 Oktober 2025