Oleh: Ardinal Bandaro Putiah Ketua III PB Pemuda Muslimin Indonesis
Luka Lama yang Terulang
Uang dan kekuasaan adalah dua wajah dari satu koin yang sama. Uang mengejar kekuasaan, kekuasaan memburu uang. Keduanya berputar, membelit, dan pada akhirnya menghancurkan sendi-sendi bangsa. Sejarah negeri ini penuh dengan catatan betapa pejabat yang diberi amanah rakyat akhirnya tumbang oleh godaan harta dan kuasa.
OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, hanyalah episode terbaru dari drama panjang itu. Ironi ini tajam dimana seorang yang dulunya lantang di jalanan, kini terjerembab dalam lumpur kekuasaan yang ia kritik sendiri.
Tragedi ini bukan sekadar soal seorang Noel. Ia adalah potret dari sebuah sistem busuk yang menjadikan kekuasaan sebagai pasar, jabatan sebagai komoditas, dan rakyat sebagai penonton yang terus dikhianati.
Uang Sebagai Jalan ke Kekuasaan
Demokrasi kita mahal. Untuk masuk parlemen butuh miliaran rupiah, untuk menjadi kepala daerah butuh modal segunung. Akibatnya, politik bukan lagi soal gagasan, melainkan soal dana.
Siapa yang punya uang, dialah yang berpeluang berkuasa. Siapa yang berkuasa, dia akan mencari uang untuk mengembalikan modal. Begitulah lingkaran setan bekerja. Politik berubah menjadi industri dengan hitungan untung-rugi.
Noel memang bukan politisi jalur klasik, tapi ketika ia masuk ke lingkar kekuasaan lewat jalur penunjukan politik, ia tetap terseret dalam logika yang sama yaitu jabatan sebagai aset. Kekuasaan bukan lagi amanah, melainkan kapital yang harus digandakan.
Kekuasaan di negeri ini bukan sekadar kehormatan, ia adalah mesin. Mesin itu bisa mengeluarkan proyek, izin, regulasi, dan anggaran. Setiap keputusan punya nilai rupiah. Setiap tanda tangan bisa mengalirkan miliaran.
Dan di sinilah tragedi muncul. Kekuasaan yang seharusnya dipakai untuk menyejahterakan rakyat, justru dipakai untuk memperkaya diri. Buruh kehilangan perlindungan, pekerja migran kehilangan perhatian, rakyat kecil hanya jadi statistik di atas kertas.
Kasus Noel memperlihatkan bagaimana seorang pejabat bisa menjadikan wewenang sebagai alat pemerasan. Bukan untuk bangsa, bukan untuk negara, tetapi untuk kantong pribadi.
Demokrasi yang Disandera Oligarki
Apa yang disebut demokrasi hari ini sejatinya telah disandera oleh oligarki. Rakyat dipanggil lima tahun sekali untuk mencoblos, setelah itu kekuasaan dikapling oleh mereka yang punya modal.
Demokrasi hanya tinggal prosedur. Substansinya hilang. Yang berkuasa bukan rakyat, melainkan uang.
Di titik ini, Noel hanyalah pion kecil dalam papan catur oligarki. Ia dipakai, diposisikan, dan akhirnya terjebak. Tapi jangan salah meski ia pion, tragedinya cukup untuk membuktikan bahwa sistem ini busuk sampai ke akar.
Setiap rupiah yang dikorupsi adalah nasi yang hilang dari meja makan buruh. Setiap proyek yang diperas adalah sekolah yang tak jadi dibangun, puskesmas yang mangkrak, atau jaminan sosial yang tak sampai ke tangan pekerja.
Rakyat membayar pajak, tapi pejabat merampoknya. Rakyat berharap perlindungan, tapi pejabat menjualnya. Inilah pengkhianatan yang paling keji, pejabat yang lahir dari aktivisme, tapi berubah jadi algojo yang memeras rakyat.
Refleksi Moral dan Politik
Kisah Noel adalah peringatan keras, jangan pernah terlalu percaya pada wajah-wajah yang mengaku aktivis jika mereka tidak punya benteng moral. Kekuasaan itu menyesatkan, ia bisa mengubah kawan jadi lawan, bisa mengubah idealisme jadi oportunisme.
Lord Acton benar: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Tapi di Indonesia, bahkan kekuasaan kecil pun sudah cukup untuk merusak.
Revolusi Moral dan Politik
Bangsa ini tidak boleh terus tenggelam dalam lingkaran setan uang dan kekuasaan. Kita harus berani memutus mata rantai itu. Ada tiga jalan:
1. Reformasi Sistem Politik
Politik tak boleh lagi jadi bisnis mahal. Pendanaan politik harus transparan, jujur, dan adil.
2. Penguatan KPK dan Sistem Hukum
KPK harus diperkuat, bukan dilemahkan. Digitalisasi pelayanan publik harus dipercepat agar ruang gelap transaksi suap ditutup rapat.
3. Gerakan Moral Rakyat
Tidak ada pejabat yang bisa korupsi sendirian. Selama rakyat masih permisif, korupsi akan terus hidup. Rakyat harus berani berkata: cukup!
Kasus Immanuel Ebenezer adalah tragedi, tapi sekaligus peringatan. Ia adalah cermin di mana kita bisa melihat wajah demokrasi kita sendiri, penuh luka, penuh ironi, penuh pengkhianatan.
Uang dan kekuasaan terus menari di panggung politik, sementara rakyat hanya jadi penonton. Tapi tragedi ini juga bisa menjadi titik balik, jika kita berani.
Kita harus merampas kembali demokrasi dari tangan oligarki. Kita harus mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, bukan kepada uang. Kita harus mendirikan sebuah politik baru, politik yang berakar pada moralitas, keberpihakan, dan keberanian melawan sistem busuk.
Jika tidak, kita akan terus menyaksikan tragedi serupa dimana hari ini Noel, besok yang lain, lusa entah siapa lagi.
Dan pada akhirnya, bangsa ini hanya akan menjadi panggung bagi mereka yang memperdagangkan uang dan kekuasaan, sementara rakyat terus menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Wallahu’alam,
Matraman 22 Agustus 2025