Ketika Rumah Ibadah Tak Lagi Aman: Cermin Retaknya Toleransi di Padang

Ketika Rumah Ibadah Tak Lagi Aman: Cermin Retaknya Toleransi di Padang

 

 

Insiden pembubaran paksa dan perusakan rumah doa jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang pada Minggu sore, 27 Juli 2025, di Kelurahan Padang Sarai, Kota Padang bukan hanya soal vandalisme atau konflik kepentingan lokal. Secara sosiologis, peristiwa ini mencerminkan keretakan struktur sosial yang menopang ruang publik bersama dan menunjukkan bagaimana identitas agama dapat dielaborasikan menjadi landasan tindakan diskriminatif dan agresif, meskipun menyasar anak-anak dan perempuan.

 

Pada saat berlangsungnya kegiatan pembelajaran agama bagi sekitar 20–30 anak-anak jemaat, sekelompok orang menerobos paksa rumah yang digunakan sebagai ruang belajar itu. Rekaman video menunjukkan bahwa para pelaku membawa balok kayu, melempari jendela dengan batu, dan berteriak “Bubarin! Bubarin!”, paksa menyingkirkan peserta yang kebanyakan perempuan dan anak-anak. Akibatnya, dua anak berusia sekitar delapan dan sebelas tahun mengalami cedera akibat pukulan kayu dan terpental setelah dipaksa bergerak keluar dalam kepanikan.

 

Dari sudut pandang sosiologi interaksi sosial, peristiwa ini menunjukkan minimnya komunikasi dan kontak antar kelompok (intergroup contact) yang sehat antara komunitas Kristen dan Muslim di wilayah tersebut. Munculnya narasi mis-informasi bahwa rumah doa adalah “gereja ilegal” menjadi trigger bagi massa untuk bertindak. Ketika identitas agama mayoritas merasa terancam, interaksi sosial berubah menjadi konflik simbolik yang berujung kekerasan fisik terhadap simbol agama minoritas — anak-anak pun menjadi korban langsungnya.

 

Fenomena ini juga mencerminkan rusaknya kohesi sosial. Kohesi—yaitu rasa saling memiliki, tanggung jawab kolektif, dan kemakmuran bersama—justru tergantikan oleh fragmentasi identitas dan stereotip. Rumah doa yang seharusnya menjadi pelengkap kehidupan beragama malah berubah menjadi titik gesekan karena minimnya edukasi lintas iman serta lemahnya keberpihakan sosial. Trauma yang dialami warga dan anak-anak bukan semata karena kekerasan fisik, tapi karena ruang spiritual dan simbol identitas mereka dirusak melalui tindakan kelompok mayoritas dengan dalih ketakutan identitas.

 

Dalam analisis sosio-politik, penting juga memahami konteks kelembagaan dan kebijakan publik. Institusi formal seperti RT/RW, polisi, dan FKUB bertindak secara reaktif, bukan preventif. Polisi baru menangkap sembilan pelaku setelah insiden terjadi dan video viral beredar. Negara, melalui Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, masih bergantung pada regulasi seperti SKB No. 9/2006 yang sering dijadikan legitimasi pelarangan terhadap ibadah kelompok minoritas. Amnesty International Indonesia menegaskan bahwa tindakan negara ini memperburuk kondisi kebebasan beragama dan memungkinkan intoleransi berulang, sebagaimana terjadi sebelumnya di Sukabumi sebulan sebelum insiden Padang.

 

Lebih jauh, SETARA Institute mengecam perusakan tersebut sebagai tindakan kriminal intoleran yang secara jelas melanggar hukum dan konstitusi. Mereka menyerukan agar aparat hukum segera bertindak tegas demi memberikan efek jera dan keadilan bagi korban minoritas. Tanpa penegakan hukum yang kuat, muncul persepsi bahwa pelaku intoleransi dapat berdiri di atas regulasi dan moral publik.

 

Keterlibatan pihak seperti legislator PDIP, Selly Andriany Gantina, turut menyoroti peran negara dalam melindungi anak-anak dan memastikan hak beribadah dijamin. Ia juga mengimbau pemulihan fisik dan psikologis bagi korban serta pentingnya memperkuat nilai pluralitas melalui tindakan kolektif dan dialog terbuka.

 

Trauma yang terbentuk dari situasi kekerasan sosial seperti ini bisa tertanam dalam identitas kelompok minoritas sebagai ketidakpercayaan terhadap lingkungan sosial dan institusi hukum. Dalam teori konflik sosiologis, aksi massa ini menandakan upaya mempertahankan batas kolektif (boundary maintenance) dominan demi melanggengkan dominasi. Rumah ibadah kecil yang bersifat komunitas menjadi sasaran karena dianggap simbol ancaman terhadap status quo identitas mayoritas.

 

Selanjutnya, trauma jangka panjang ini bisa menghambat integrasi sosial dalam komunitas. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan dapat mengalami kekhawatiran berlebih terhadap kehadiran suatu keyakinan berbeda dalam lingkup sosial di masa depan. Minimnya peran fasilitator toleransi di segmen masyarakat memperparah situasi. FKUB dan organisasi masyarakat sipil sudah berupaya melakukan dialog lintas iman, tetapi skalanya masih terbatas dan belum menjangkau semua tingkatan sosial.

 

Dari perspektif moral disengagement, beberapa warga yang menyaksikan aksi justru merekam kejadian atau bersorak mendukung tindakan agresif, menandakan bahwa norma etis untuk menjaga tetangga—terutama anak-anak—telah luntur. Nilai normatif yang membatasi kekerasan terhadap kelompok rentan kini menghadapi erosi, digantikan oleh kebingungan normatif yang membenarkan tindakan diskriminatif dengan alasan mayoritas atau identitas religius.

 

Untuk memulihkan keberagaman sebagai modal sosial, perlu intervensi sistemik yang mencakup:

 

Pendidikan toleransi yang sistematis di sekolah dan komunitas lokal, menanamkan pemahaman pluralisme sejak dini.

Dialog lintas iman rutin, difasilitasi oleh FKUB, organisasi masyarakat sipil, tokoh agama, dan pemerintah daerah untuk menyusun narasi bersama yang melampaui stereotip.

Penegakan hukum transparan dan cepat, agar kepastian hukum dan keadilan menjadi sinyal kuat bagi pelaku intoleransi.

Revisi regulasi diskriminatif, seperti SKB 2006, agar tidak menjadi instrumen pembatasan yang melanggengkan ketidaksetaraan identitas religius.

 

Pendampingan psikososial bagi korban, terutama anak-anak, agar trauma sosial tidak menjadi hambatan integrasi dan kepercayaan terhadap institusi publik.

 

Secara keseluruhan, apa yang terjadi di Padang Sarai merupakan petaka simbolik sekaligus praktis: simbol krisis kohesi sosial dan kegagalan struktur sosial dalam menjamin ruang ‘berbeda namun setara’. Toleransi yang retak seakan menjadi penghalang bagi stabilitas sosial dan kerukunan publik. Jika solusi hanya sebatas pernyataan atau penindakan simbolis tanpa rekonstruksi nilai budaya dan kelembagaan, luka sosial akan terus tumbuh.

 

Masa depan keberagaman Indonesia menuntut rekonstruksi pluralisme melalui jaringan sosial inklusif, hubungan antaragama yang bermakna, dan sistem hukum yang adil tanpa pandang suku atau agama. Hanya dengan upaya kolektif seperti itu, ruang ibadah—yang kini tercoreng—dapat kembali menjadi simbol harmoni dan kepercayaan publik terhadap negara dan sesama warga.

 

Penulis: Muhamad Alfarozy

 

Mahasiswa Program Studi Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *