Jangan Abaikan Hal Kecil, Dalam Politik, Semua Kemungkinan Bisa Terjadi

Oleh: Ardinal Bandaro Putiah

Dalam setiap jengkal sejarah perjuangan umat manusia, baik dalam lingkup lokal maupun global, terdapat benang merah yang menyatukan kejadian-kejadian besar yang mengguncang zaman, semua itu kerap kali berawal dari hal-hal kecil. Dari sesuatu yang tak terlihat, tak tercatat dalam agenda besar kekuasaan, tak diperhitungkan oleh para pengatur narasi. Itulah politik. Ia bukan sekadar kalkulasi suara atau strategi elite, melainkan sebuah medan kemungkinan yang terus bergerak liar, berliku, dan tak pernah sepenuhnya bisa dipetakan. Maka, mengabaikan hal kecil dalam politik adalah kesalahan strategis yang fatal. Dalam politik, semua kemungkinan bisa terjadi, bahkan dari celah sempit yang tak pernah diduga.

Kecenderungan para pemilik kuasa dan elite politik untuk hanya berorientasi pada panggung besar, pada retorika formal, pada narasi-narasi megah yang dibangun dari balik podium, kerap membuat mereka kehilangan kepekaan terhadap denyut jantung rakyat yang paling dalam. Mereka terlalu sibuk memperindah wajah kekuasaan, hingga tak sempat mendengar rintihan kecil dari ujung gang, dari pasar rakyat, dari perbincangan sederhana di warung kopi, atau dari percakapan sunyi para buruh dan petani tentang harga yang tak lagi bersahabat. Mereka lupa bahwa sejarah bangsa ini dibentuk bukan semata oleh palu parlemen atau rapat kabinet, melainkan oleh jutaan percakapan kecil yang pelan-pelan menjadi arus bawah yang dahsyat.

Revolusi Perancis, yang kerap dianggap sebagai tonggak modernisasi politik dunia, tak dimulai dari parlemen atau istana. Ia bermula dari rasa lapar rakyat, dari sepotong roti yang terlalu mahal, dari ketidakadilan dalam distribusi pangan yang membuat rakyat murka. Ketika kelaparan menjelma jadi amarah kolektif, dan amarah itu bertemu dengan kesadaran bahwa kekuasaan tidak memihak mereka, maka badai sejarah pun tak terhindarkan. Demikian pula di tanah air kita. Kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil diplomasi elite atau keberanian segelintir orang di meja perundingan. Ia juga buah dari percakapan kecil di surau-surau kampung, dari forum-forum diskusi mahasiswa dan pelajar Sarekat Islam, dari kesadaran yang dirawat dalam sunyi oleh para guru bangsa yang sabar membangun fondasi ideologis rakyat jelata.

Kita bisa belajar dari Tjokroaminoto, guru bangsa yang tidak menunggu perintah dari atas, tapi memilih membangun kesadaran dari bawah. Ia hadir di tengah rakyat, mendengar suara mereka, memberi pengajaran, menyusun narasi, dan menyemai benih perubahan. Ia sadar betul bahwa hal besar lahir dari hal kecil yang terus menerus disirami kesadaran. Begitu pula Tan Malaka, yang meski hidup dalam pengasingan dan kesunyian, tak pernah berhenti menulis dan berbicara dalam bahasa rakyat. Ia tahu, bahkan satu kalimat ideologis bisa menjadi bara dalam dada yang menyala bertahun-tahun kemudian.

Dalam politik kontemporer, penyakit lama itu kembali menjangkiti banyak elite, abai terhadap hal kecil. Mereka merasa sudah menguasai struktur, punya sumber daya, memiliki jejaring birokrasi, dan bisa mengendalikan media. Tapi mereka lupa bahwa satu video pendek di media sosial, satu pernyataan sembrono, satu ekspresi arogan terhadap rakyat, bisa menjadi awal keruntuhan. Rakyat hari ini tidak lagi pasif. Mereka punya alat sendiri untuk merekam, menyebar, menilai, dan membangun opini. Dan semua itu bisa terjadi dalam hitungan jam. Kekuasaan yang dibangun puluhan tahun bisa runtuh hanya dalam satu malam karena satu “hal kecil” yang tidak dianggap penting.

Kita telah melihat bagaimana sebuah partai besar kehilangan suara hanya karena gagal membaca situasi di lapangan. Mereka terlalu sibuk dengan konsolidasi elite, namun lupa membangun percakapan jujur dengan rakyat. Mereka pikir cukup dengan baliho dan slogan, padahal rakyat sedang menunggu kehadiran nyata, mendengar langsung keresahan mereka, bukan sekadar menyodorkan program yang dibuat dari atas meja. Banyak pula kepala daerah yang kalah dalam pemilihan bukan karena lawannya lebih hebat, tapi karena ia sendiri abai. Ia tidak mendengar sinyal-sinyal kecil ketidakpuasan di lingkungannya. Ia tak memperhatikan perubahan sikap orang-orang kecil yang dulu setia, tapi perlahan menjauh. Politik bukan hanya angka dan peta strategi, tapi juga perasaan, persepsi, dan kepekaan terhadap perubahan suasana batin publik.

Dalam kerangka ideologis, hal kecil bukan hanya bagian dari proses, tapi jantung dari perubahan itu sendiri. Seorang kader ideologis tahu bahwa mendengar keluhan petani tentang pupuk, berdiskusi dengan pemuda di surau kampung, atau membantu warga miskin mengakses haknya, bukanlah pekerjaan kecil. Itu adalah pangkal dari transformasi. Sebab dari sana, tumbuh kepercayaan, muncul kesadaran, dan terbentuk jaringan solidaritas yang tak bisa dibeli dengan uang politik.

Gerakan ideologis tidak dibangun dari gedung tinggi atau panggung mewah, tetapi dari rumah-rumah kecil, dari dusun-dusun terpinggir, dari ruang-ruang sempit yang penuh semangat. Di sanalah ideologi mendapat tempatnya yang paling sejati. Ketika kita mulai menyepelekan suara minor, *ketika kita merasa bahwa satu-dua orang yang kecewa tidak penting, ketika kita menganggap kritik kecil sebagai gangguan, maka saat itulah kita sedang mematikan nadi ideologis gerakan kita sendiri*. Sebab yang kecil itulah sering kali menjadi penentu sejarah.

Lebih dari itu, dalam dunia yang sangat cair dan tidak pasti seperti saat ini, perubahan bisa datang dari arah mana saja. Politik tidak lagi punya kepastian seperti masa lalu. Pemilih bisa berpindah karena satu isu kecil. Dukungan bisa goyah hanya karena satu tindakan yang dianggap menyakiti rasa keadilan. Maka yang diperlukan bukan sekadar strategi besar, tapi kemampuan membaca gerak kecil. Bukan hanya melihat angka survei, tapi merasakan denyut hati rakyat. Bukan hanya membuat program populis, tapi membangun relasi yang jujur, personal, dan ideologis dengan rakyat.

Gerakan besar selalu tumbuh dari komunitas kecil. Revolusi sosial tidak lahir dari konferensi elite, tapi dari forum-forum kecil yang terus hidup, dari diskusi yang mungkin hanya dihadiri lima orang, dari pertemuan malam hari yang membahas nasib bersama, dari keyakinan bahwa perubahan dimulai dari kesadaran satu orang ke orang lain. Maka jangan pernah malu memulai dari kecil, dan jangan pernah abaikan gejala kecil. Dalam politik, kemungkinan adalah hukum utama. Yang kecil hari ini bisa jadi tsunami besok hari.

Penegasan ini bukan sekadar retorika. Ini adalah peringatan bagi siapa saja yang terlibat dalam perjuangan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tidak ada kemenangan yang abadi. Tidak ada kekuasaan yang tak tergoyahkan. Tapi juga tidak ada upaya kecil yang sia-sia jika ia dikerjakan dengan keyakinan dan keberpihakan. Maka mari kita rawat hal-hal kecil dalam perjuangan kita, kata yang jujur, hubungan yang tulus, tindakan yang konkret, solidaritas yang nyata. Sebab dari sanalah sejarah ditulis.

Dalam politik, yang dianggap tidak mungkin bisa terjadi kapan saja. Dan ketika hari itu datang, hanya mereka yang setia menjaga yang kecil yang akan berdiri tegak di tengah badai, sementara yang lain tumbang karena terlalu sibuk membangun istana di atas pasir.

Wallahu’alam
Pondok Syarikat, 17 Juli 2025