Kegelapan akan semakin pekat, dan angin akan bertiup kencang. Tetapi kita harus menjaga api tetap menyala. Orang-orang akan berkumpul, dan saat orang-orang berkumpul, kita akan mengambil cahaya dan berjalan melewati kegelapan bersama. Apapun yang menghadang kita, kita tidak akan pernah mundur, jika kita tidak berhasil tahun ini, kita akan coba lagi tahun berikutnya. Entah butuh waktu satu, dua, sepuluh, atau seratus tahun lagi, kita akan berhenti saat kemerdekaan sejati terwujudkan. Dengan maju, mundur, bergerak cepat dan kemungkinan perlahan, mempersiapkan diri untuk hari esok, hari berikutnya, dan semua hal yang ada dihadapan kita, kita pasti akan mencapai tujuan suatu hari nanti, kita harus terus maju hingga hari itu tiba.
Membawa api kedalam kegelapan…!
Di tengah reruntuhan tatanan sosial-politik yang semakin menjauh dari cita-cita kemanusiaan, kita menyaksikan bagaimana idealisme sebagai kekuatan suci perjuangan, kian hari kian dihancurkan oleh pragmatisme, oportunisme, dan dominasi kekuasaan modal. Demokrasi direduksi menjadi ritus lima tahunan yang tanpa makna, rakyat dijadikan objek manipulasi, dan elite terus memperdagangkan penderitaan dengan bahasa pembangunan.
Kita hidup dalam keadaan darurat moral dan ideologis. Maka, Saatnya membangun kembali arah gerak perjuangan melalui sintesis ideologis yang berpijak pada
1. Nasionalisme: Tanah Air Bukan untuk Dijual
Nasionalisme kita bukan nasionalisme kosmetik yang hanya bangga pada simbol dan jargon. Nasionalisme kita adalah nasionalisme kerakyatan, yang berpihak pada petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota, dan seluruh anak bangsa yang tertindas. Tanah air bukan komoditas. Kedaulatan bukan barang lelang. Kita menolak sistem ekonomi yang menyerahkan sumber daya ke tangan korporasi multinasional.
Nasionalisme yang sejati mengandung keberanian untuk berkata tidak pada imperialisme baru, dalam bentuk utang luar negeri, privatisasi, dan liberalisasi yang menghancurkan kemandirian bangsa.
Kita berdiri untuk Indonesia yang merdeka secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan bermartabat secara budaya.
2. Agama: Menegakkan Etika Keadilan Sosial
Agama bukan instrumen pelarian. Ia adalah kekuatan moral untuk membela yang tertindas. Setiap agama mengajarkan keberpihakan kepada yang lemah, menolak kezaliman, dan menuntut ditegakkannya keadilan sosial.
Namun hari ini, agama sering dibajak oleh elit konservatif untuk melanggengkan ketimpangan. Ia disulap menjadi tameng status quo. Padahal, dalam denyut nadi agama-agama besar terdapat perintah untuk melawan kezaliman struktural.
Kita menyerukan kembalinya agama ke pangkuan rakyat. Agama yang membebaskan, bukan membelenggu. Agama yang berpihak, bukan netral dalam penindasan. Agama yang menjadi api nurani perjuangan.
3. Kesadaran Kelas dan Jalan Pembebasan
Komunisme yang kita maksud bukan mitos hantu yang ditakuti penguasa, tapi kesadaran ilmiah yang membaca realitas ketimpangan, lalu mengorganisir kekuatan rakyat untuk mengubahnya.
Kita bukan pemuja kekerasan, tapi penolak pasifisme palsu yang membiarkan kezaliman terus berlangsung. Kita tidak tunduk pada kompromi yang membungkam mulut rakyat demi kepentingan elite. Kita adalah anak kandung sejarah perjuangan rakyat yang menolak dijinakkan.
Kita percaya bahwa keadilan tidak akan lahir dari belas kasihan penguasa, melainkan dari kekuatan rakyat yang sadar dan terorganisir. Komunisme adalah jalan ilmu, jalan rakyat, jalan pembebasan. Ia adalah alat analisis untuk menghancurkan dominasi kelas, dan membangun masyarakat tanpa eksploitasi.
4. Pengkhianatan dan Pragmatisme: Luka Kolektif Kita
Hari ini kita menyaksikan tragedi besar: bagaimana idealisme dijual murah oleh mereka yang dulu bicara perubahan. Di meja-meja kekuasaan, mereka menukar arah perjuangan dengan kenyamanan pribadi. Cita-cita bersama dikaburkan, kepentingan kolektif dihapus, dan rakyat kembali dikhianati.
Kita hidup dalam era tanpa batas moral: batas antara kawan dan lawan kabur, antara gerakan dan institusi oligarki melebur. Inilah zaman kebodohan yang dilembagakan. Zaman di mana pengkhianatan menjadi kebiasaan, dan kejujuran dianggap utopia.
Namun kita tidak akan diam. Kita menjawab pengkhianatan dengan kesadaran. Kita menjawab pragmatisme dengan ideologi. Kita jawab pembusukan ini dengan pembangkangan terorganisir.
5. Panggilan Moral dan Tugas Sejarah
Masyarakat sipil kehilangan daya kritisnya. Sebagian tertidur dalam ilusi keterlibatan, sementara sebagian lagi memilih menjauh karena kecewa terlalu dalam. Padahal, di saat seperti inilah civil society seharusnya menjawab panggilan moralnya: menjadi suara nurani yang tidak terkooptasi, menjadi ruang harapan yang tak dapat dibeli, dan menjadi pengingat bahwa bangsa ini dibangun bukan oleh kekuasaan, tapi oleh kesadaran bersama
Kita bukan gerakan pelengkap penderita. Kita adalah pelaku sejarah. Kita tidak mencari posisi dalam sistem yang bobrok, kita sedang membangun sistem alternatif, dengan keyakinan bahwa masa depan milik mereka yang berani bermimpi dan berjuang bersama.
Dalam dunia yang penuh kebohongan, mengatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner. Dalam dunia yang dikuasai elite, berdiri bersama rakyat adalah perlawanan. Dan dalam dunia yang sunyi oleh pengkhianatan, kita adalah suara dari dasar sejarah.
Kesadaran adalah senjata kita. Persatuan adalah kekuatan kita. Pembebasan adalah tujuan kita.
Fattaqullaha mastatha’tum
Billahi fie sabililhaq