Pengadaan Tanah untuk Pembangunan 

Pengadaan Tanah untuk Pembangunan 

 

Persoalan tanah selalu menjadi permasalahan yang cukup pelik dimasa kini. Tanah merupakan anugerah dan karunia dari Tuhan yang Maha Esa kepada manusia untuk kelangsungan hidupnya. Apapun jenis pembangunan baik itu untuk jalan, pabrik, gedung, PLTA, penambangan, pembangkit listrik geotermal dan lain sebagainya, pastilah memerlukan tanah untuk tempat pelaksanaannya. Pembangunan tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah, swasta, pribadi atau masyarakat.

 

Sebagai contoh pembangunan jalan baik itu pelebaran atau jalan baru. Yang dimaksud pengadaan tanah dalam pembangunan jalan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2023. Pasal 1 ayat 2. Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

 

Nan bak kata pepatah orang Minang “lamak diawak katuju di urang” ini juga ada dalam peraturan tersebut. Ganti kerugian dapat dipilih oleh yang berhak atau kedua belah pihak atas tanah itu. Dalam Pasal 76 ayat (1). Ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk : a) uang, b) tanah pengganti, c) pemukiman kembali, d) kepemilikan saham atau : e) Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Ayat 2. Bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud ayat (1). baik berdiri sendiri maupun gabungan dari beberapa bentuk ganti kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh penilai, penilai publik atau penilai pemerintah.

 

Dari uraian diatas, ternyata ada banyak cara dalam ganti rugi. Kita bersyukur terhadap cara yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kita. Sehingga kita sebagai rakyat mempunyai hak untuk memilih cara ganti rugi yang kita inginkan.

 

Tanah di daerah Minangkabau kebanyakan adalah tanah pusaka tinggi dan tanah ulayat. Dalam adat Minangkabau menjual atau menggadai tanah pusaka ada syaratnya. Diantaranya adalah Rumah gadang katirisan, mayik tabujua tangah rumah, dan gadih gadang alun balaki. Sebelum menjual maka digadai dahulu.

 

Permasalahannya bagaimana jika tanah pusaka tinggi yang terkena dampak pembangunan? Maka menurut beberapa sumber yang penulis tanyakan, berpendapat sistem sewa adalah yang terbaik. Karena tanah pusaka itu tidak hilang atau terjual. Sebagai contoh pembangunan tower telekomunikasi tidak dijual namun disewa. Namun jika tanah pusaka dipergunakan untuk kepentingan bersama seperti pembangunan m6asjid, tidak diganti pun tidak mengapa. Hal ini karena orang Minang punya falsafah adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah. 

 

Penulis: Teddy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *