SATABA-TABA PUNGGUANG LADIANG, KOK DIASAH TAJAM JUO

Write by: Nurul Fadila (2310741018) Mahasiswa Universitas Andalas

SATABA-TABA PUNGGUANG LADIANG, KOK DIASAH TAJAM JUO

 

Write by: Nurul Fadila (2310741018)

Mahasiswa Universitas Andalas

 

Kekayaan khazanah budaya dan kearifan nilai tradisi yang tumbuh, berkembang, dan diwariskan ditengah masyarakat Minangkabau salahsatunya dapat kita lihat terangkum dalam pitatah-pitatahnya.

 

Salah satu yang menginspirasi adalah “Sataba-taba Punggung Ladiang, Kok Diasah Tajam Juo.” Secara harfiah, peribahasa ini berarti “setebal-tebalnya bagian punggung parang (sisi tumpul), jika diasah akan jadi tajam.”

 

Lebih dari sekadar ungkapan, ia adalah sebuah filosofi hidup masyarakat Minangkabau untuk selalu mengasah potensi diri, membakar semangat disaat terpuruk.

 

Dari Besi Mentah Menjadi Ladiang: Kisah Pembentukan Diri Manusia

 

Untuk memahami pitatah ini secara utuh, mari kita tarik analogi lebih jauh. Sebelum menjadi sebuah ladiang (parang), ia berawal dari sebongkah ”besi mentah”. Besi yang dalam kondisi aslinya tidak memiliki bentuk, tidak memiliki fungsi khusus, dan tentu saja tidak tajam. Ia adalah bahan dasar, penuh potensi namun belum terolah dengan baik.

 

Seperti itulah gambaran awal dari diri kita sebagai manusia. Kita semua terlahir sebagai “besi mentah”. Tanpa memandang latar belakang, suku, atau kondisi ekonomi, setiap orang lahir ke dunia dengan sebuah potensi tak terbatas yang belum terbentuk. Kita belum memiliki pengetahuan, keterampilan, atau kepribadian yang matang. Kita masih ibaratkan lembaran kertas kosong yang siap diisi, bongkahan materi yang siap dibentuk.

 

Proses dari besi mentah menjadi sebuah ladiang yang fungsional melibatkan serangkaian tahapan: mulai dari ditempa, dibakar, dipukul, dibentuk, dan akhirnya diasah. Begitu pula dengan manusia. Kita dibentuk oleh lingkungan, dididik oleh keluarga dan sekolah, ditempa oleh pengalaman hidup, dibakar oleh kesulitan, dan dipukul oleh kegagalan.

Setiap interaksi, setiap tantangan, setiap pelajaran, adalah bagian dari proses pembentukan kita untuk menjadi ladiang yang tajam dan siap digunakan untuk memotong apapun.

 

“Jauah bajalan banyak nan diliek, lamo hiduik banyak nan diraso” menggambarkan sekali proses pengasahan dan penempahan orang Minangkabau untuk menjadi lebih baik dan menemukan potensi diri terbaiknya untuk memberi kebermanfaatan bagi sekitarnya.

 

Setelah melalui berbagai proses pembentukan itu, barulah kita menjadi “ladiang.” Ada ladiang yang menjadi tajam karena diasah dengan baik, ada pula yang tetap tumpul di bagian punggungnya karena memang tidak diasah. Punggung ladiang adalah bagian yang tebal dan secara alami tumpul. Ia melambangkan keterbatasan, kekurangan, kelemahan, atau bahkan potensi yang belum tergali dalam diri kita.

 

Mungkin itu adalah kurangnya bakat dalam bidang tertentu, kelemahan dalam karakter, keterbatasan pengetahuan, atau bahkan masa lalu yang kelam.

 

Seringkali, kita merasa tidak mampu, tidak cerdas, atau tidak berbakat dalam suatu hal. Kita melihat diri kita sebagai “punggung ladiang” yang mustahil untuk menjadi tajam. Namun, kearifan Minangkabau ini dengan tegas menepis anggapan tersebut. Ia menyiratkan bahwa tidak ada kekurangan atau keterbatasan yang mutlak dan permanen jika kita bersedia untuk berproses.

 

 

Proses Asah: Ketekunan dan Konsistensi adalah Kunci

 

Kata kunci dalam pitatah ini adalah “diasah.” Mengasah adalah sebuah tindakan yang membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan konsistensi. Ia bukan proses instan.

 

Sebuah parang tidak akan tajam hanya dengan sekali gesekan. Ia membutuhkan ratusan, bahkan ribuan, gesekan yang berulang-ulang pada batu asah. Proses mengasah juga mungkin mengikis dan menyakitkan jika kita lihat dari sudut pandang ladiang.

 

Dalam konteks kehidupan manusia, proses mengasah ini yaitu dalam bentuk:

 

1. Belajar Tanpa Henti: Terus mencari ilmu, membaca, mengikuti pelatihan, dan memperluas wawasan. Orang Minangkabau berguru kepada alam, selaras dengan “alam takambang jadi guru.”

 

2. Berlatih dengan Gigih: Mengulang-ulang suatu keterampilan sampai menjadi mahir, bahkan jika awalnya terasa sulit. Berkaitan juga dengan pribahasa “Pasa jalan dek ditampuah, fasiah kaji dek diulang”

 

3. Evaluasi dan Perbaiki diri: Sadari kesalahan, menerima kritikan, dan berkomitmen untuk menjadi lebih baik. Proses yang kita lakukan tidak aka nada artinya jika kesalahan dan kekurangan yang dihadapi tidak diperbaiki.

 

4. Menghadapi Tantangan yang ada: Menganggap setiap kesulitan sebagai “batu asah” yang akan membuat kita lebih kuat dan tajam. Setiap kendala akan mengajarkan kita untuk bisa terbiasa menghadapi kendala-kendala lainnya.

 

5. Disiplin Diri: Memiliki komitmen untuk terus berproses meskipun godaan untuk menyerah datang. Disiplin memang merupakan sebuah hal yang sangat sulit, karena membutuhkan komitmen yang kuat dan kesabaran untuk terus melakukan prosesnya.

 

Jika kita merasa kita belum ada apa-apanya dibandingkan dengan orang lain dan hal tersebut membuat kita menjadi rendah diri, pitatah ini dapat menjadi pedoman yang membakar semangat kita lagi untuk mau berproses lebih baik. Mungkin orang lain kita lihat. Kuncinya adalah kemauan untuk terus mengasah diri, sedikit demi sedikit, hari demi hari.

 

Warisan Kearifan untuk Generasi Penerus

 

“Sataba-taba Punggung Ladiang, Kok Diasah Tajam Juo” adalah pengingat abadi bahwa potensi manusia itu tak terbatas. Ia menanamkan optimisme bahwa setiap individu, dengan kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh, mampu mengatasi keterbatasan dan meraih versi terbaik dari dirinya.

 

Pitatah ini menjadi warisan berharga dari leluhur Minangkabau yang mengajarkan kita untuk tidak pernah putus asa, tidak pernah berhenti berusaha, dan senantiasa berpegang pada prinsip bahwa proses adalah kunci menuju hal yang lebih baik.

 

Maka, marilah kita jadikan pitatah ini sebagai panduan. Ingatlah bahwa kita semua bermula sebagai “besi mentah” yang sama. Proses hidup telah membentuk kita menjadi “ladiang” dengan berbagai kondisi ketajaman. Namun, jika kita merasa ada bagian yang tumpul, baik itu keterampilan, pengetahuan, atau karakter. Jangan ragu untuk terus mengasah diri. Dengan ketekunan dan kesabaran, “punggung ladiang” yang paling tebal sekalipun akan menjadi tajam, siap untuk berkarya dan memberikan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.